Abel memijat leher belakangnya, dia merasa tegang yang sangat di bagian sana. Bahkan di hari minggu pun dia terpaksa harus masuk kantor karena memang pekerjaannya yang banyak dan juga ingin menghindari Daniel. Dia takut kalau-kalau Daniel pergi ke rumahnya maka Abel tidak akan punya tempat untuk menghindar lagi.
Abel duduk sendirian menatap laptop dan juga tumpukkan kertas yang harus dia periksa. Pikirannya mengosong untuk beberapa saat tapi kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. Dia tidak boleh menambah beban pikiran Luna yang saat ini sedang bed rest.
Dia masih memblokir nomor Daniel, menjauhkan dirinya dari lelaki itu sebelum perasaannya jatuh lebih dalam. Daniel dan dirinya memang seharusnya tidak menjadi dekat. Dia dan Daniel adalah dua dunia yang berbeda dari sisi apa pun. Keduanya tidak cocok.
“Di sini kamu rupanya.” Suara yang familier bagi Abel terdengar berasal dari depan pintu.
Benar saja, Daniel berada di depan pintu. Lelaki itu berpakaian santai dengan celana kain pendek dan juga kaos putih polos. Abel menatap Daniel sejenak tidak percaya lelaki itu benar-benar mencarinya. Dia kemudian mengalihkan lagi pandangannya ke layar laptop.
“Mau apa kamu kesini? Hari ini hari minggu, kantor sedang libur jadi tidak ada bicara mengenai pekerjaan,” kata Abel datar.
“Tapi kamu lagi kerja sekarang,” kata Daniel yang kemudian masuk dan duduk di depan Abel.
Abel diam.
“Kamu sudah makan? Oh iya, apa makanan yang aku belikan tempo hari kamu makan?” tanya Daniel yang baru teringat soal makanan yang dibelikannya untuk Abel.
“Makanan apa?” tanya Abel pura-pura tidak tahu.
“Yang waktu aku nunggu di depan ruangan Luna itu. Aku beli nasi padang loh,” jawab Daniel.
Abel menggeleng, “Ku kasih ke satpam,” jawabnya santai.
“Kamu baca suratnya?” tanya Daniel lagi.
Abel menggeleng lagi.
“Hadehh.” Daniel melipat kakinya.
“Ayo pergi makan siang,” ajak Daniel.
“Aku sudah pesan makan, aku akan makan di sini,” kata Abel.
“Oh ya? Oke kalau begitu aku akan minta pengawal aku untuk beli makan juga dan dibawa kesini biar kita bisa makan siang bareng,” kata Daniel.
Dia kemudian merogoh ponselnya dan menelepon pengawalnya yang sudah pasti berada di parkiran.
“Tolong belikan saya makan siang. Antar saja ke ruangan yang biasa saya datangi,” kata Daniel singkat.
“Saya gak tertarik untuk makan siang sama kamu. Sebaiknya kamu pergi,” kata Abel lagi.
“Aku yang tertarik.”
Abel menghembuskan nafas kesal.
“Tolong pergi selagi aku masih meminta dengan baik.”
Daniel menatap Abel, matanya terlihat serius.
“Maafkan aku,” kata Daniel.
“Tidak perlu minta maaf. Aku juga bodoh saja mengikuti semua ajakan bodohmu,” kata Abel sambil tersenyum miring. Hatinya terasa sakit saat mengucapkannya. Menerima fakta bahwa dia sebodoh itu.
“Dengar dulu penjelasanku,” kata Daniel.
“Aku tidak perlu mendengar apa-apa. Semuanya sudah jelas, aku hanya alat untukmu mengenang mantanmu itu. Tapi aku adalah Abel, aku tidak akan bisa menjadi Nara, mantan pacarmu yang sangat kau cintai itu. Walaupun kami mirip tapi kami berbeda. Kami punya hati yang berbeda.”
“Kamu tahu kata orang bijak jangan menjadi pelangi untuk orang yang buta warna. Aku memahaminya sekarang,” lanjut Abel.
Abel segera bangkit dan pergi dari hadapan Daniel. Dadanya terasa sesak. Dia tahu dia akan menangis tapi dia tidak mau menangis di depan Daniel.
Abel segera pergi menuju kamar mandi dan menangis di sana. Bagaimana mungkin kisah cinta yang bahkan belum tumbuh ini begitu menyakitkan? Kenapa dia tidak bisa mendapatkan kisah cinta seperti orang-orang kebanyakan.
***
Daniel mencari Abel ke mana-mana tapi tidak menemukan gadis itu. Dia pikir Abel hanya pergi untuk menenangkan diri, nyatanya gadis itu kembali melarikan diri darinya. Dia kemudian berinisiatif untuk bertanya pada satpam dan benar saja mereka melihat Abel naik sebuah mobil dan pergi kira-kira 15 menit lalu.
Daniel meninju tembok di hadapannya membuat satpam itu bersiap.
“Ah maaf, saya hanya emosi,” kata Daniel saat tahu dia sudah terbawa emosi.
Daniel merasa sangat kesal karena Abel pergi tanpa mau mendengar penjelasan Daniel. Tanpa ingin tahu alasan kenapa Daniel bertindak seperti itu. Bukan karena dia tidak suka Abel, dia hanya ingin menuntaskan rindunya. Sebentar saja.
Daniel lalu pergi ke mobilnya dan melajukan mobilnya menuju ke rumah Abel. Daniel mendapati rumah itu sepi dan kosong. Tidak ada lampu yang menyala kecuali lampu bagian luar menandakan bahwa si pemilik rumah tidak berada di tempat dan belum pulang.
“Ke mana kamu, Bel?” gumam Daniel.
Dia kemudian kembali ke mobil melampiaskan amarahnya dengan memukul-mukul setir mobil sportnya itu.
“Kenapa harus menghindar begini?” Daniel kesal.
Daniel kemudian menunggu Abel selama dua jam tapi tidak ada tanda-tanda Abel akan datang jadi Daniel memutuskan untuk pulang.
***
Abel berakhir di sebuah kamar hotel. Dia memilih untuk menenangkan diri di sini saja karena dia tahu pasti Daniel pasti mencarinya ke rumah atau mungkin menyuruh pengawalnya untuk mengawasi rumah Abel.
Mata Abel terlihat sembab, dia sudah banyak menangis akhir-akhir ini. Jadi Abel memutuskan untuk menangis sepuasnya di kamar hotel ini dan kemudian kembali menjadi Abel yang tangguh dan pekerja keras. Sekali ini saja, dia ingin lemah dan kalah.
Tiba-tiba saja ponselnya berdering, nama Luna muncul di layar ponselnya.
“Ha-halo?”
Meski sudah berusaha suara Abel yang habis menangis itu terdengar jelas.
“Abel?” panggil Luna dengan lembut.
Entah kenapa panggilan lembut Luna malah membuatnya semakin menangis.
“Kamu kenapa?”
Abel tidak menjawab, tepatnya dia masih tidak bisa menjawab.
“Kamu di mana sekarang? Mau ke sini gak?” tanya Luna lagi.
“Ta-tapi nanti ganggu,” kata Abel.
“Gak ganggu kok. Ke sini yuk,” ajak Luna.
Dia kemudian memutuskan teleponnya dengan Luna. Abel menghapus air matanya dan bergegas pergi ke rumah sakit tempat Luna di rawat.
Abel memasuki ruangan tempat Luna dirawat. Tampak remang membuat Abel sempat ragu apakah benar ini ruangan Luna.
“Bel?” suara Luna terdengar.
Abel pun melangkah menuju pada Luna yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit itu. Air matanya langsung menetes begitu melihat Luna.
“Aku rindu sama Bu Luna,” kata Abel disela-sela tangisnya.
Luna membelai rambut Abel lembut. Dia juga merindukan gadis ini.
“Aku juga rindu kamu, Bel.”
“Bu Luna sudah baikan?” tanya Abel.
“Sudah kubilang, jangan panggil Ibu kalau sudah lewat jam kantor,” kata Luna lagi.
Dia menghapus air mata Abel.
“Gimana pekerjaan baru kamu? Susah?” tanya Luna.
Abel langsung menangguk.
“Ternyata sangat susah,” ucap Abel.
“Kamu bisa minta tolong staf lain untuk mengerjakan jadi kamu hanya perlu memeriksa saja. Jangan sampai telat makan,” kata Luna.
Abel menangguk lagi dengan wajah sangat lucu membuat Luna terkekeh sambil mencubit pipi Abel.
“Sekarang ceritakan padaku kenapa kamu menangis,” kata Luna.
Abel kemudian menceritakan lagi pada Luna semua kejadian setelah Luna cuti. Dia kembali menangis, mengadu pada bos yang menjelma bak seorang kakak perempuan bagi Abel. Luna mendengarkan cerita Abel tanpa memotong sama sekali, dia ingin mendengar semuanya. Setelah Abel selesai bercerita barulah dia berkomentar.
“Maaf aku tidak dengar katamu untuk tidak dekat dengannya,” kata Abel.
Luna kembali membelai kepala Abel sambil tersenyum.
“Hati mana yang bisa atur? Walau aku memasang tembok besi pun selagi dunia mengizinkan kalian untuk bertemu maka pasti akan terjadi,” kata Luna.
Abel terdiam.
“Beberapa orang memang mungkin hanya ditakdirkan untuk dijadikan pelajaran hidup bukan pasangan hidup,” lanjut Luna.
“Kamu masih muda, Bel. Belum terlambat untuk membuat dirimu bahagia dan bebas. Manfaatkan waktumu, jangan sampai terjebak pada cinta yang tidak bisa kamu rasakan,” sambung Luna.
Keduanya kemudian saling bercerita mengenai kehidupan mereka sekarang. Luna menunjukkan pada Abel foto USG bayinya membuat Abel bersorak gembira karena bayi itu kabarnya sehat walau masih dalam kondisi yang lemah.
“Aku gak sabar pengen ketemu dan gendong dia,” kata Abel.
Luna tersenyum.
“Kau harus membantuku mengurusnya jika di kantor,” kata Luna.
“Jika dia lahir, aku ingin berhenti jadi sekretaris dan jadi baby sitter saja,” ucap Abel membuat Luna tertawa.
“Tidak. Kau harus jadi aunty yang keren. Kau harus jadi lebih sukses daripada sekarang. Kau harus buktikan bahwa kau bisa menjadi orang yang lebih baik daripada kau yang sekarang.”
***
Sementara itu Daniel kembali ke kelab malam langganannya setelah sekian lama tidak ke sana. Teman-temannya menyapa dan menyambut dia kembali ke kelab malam itu.
“Ke mana aja, Bro?”
Daniel langsung meneguk minuman keras yang ada di meja seolah yang diminum itu hanyalah air mineral.
“Lagi banyak masalah Bro?”
“Cewek! Cewek memang selalu jadi sumber masalah,” kata Daniel lagi.
“Ya udah, carilah cewek yang gak bikin nambah masalah. Mau Bro?”
Daniel menatap temannya itu dengan lekat.
“Bawakan aku yang bisa ku bawa pulang malam ini,” kata Daniel lagi.
“Siap, Bro. Ini baru bro Gue,” katanya lagi sebelum pergi meninggalkan Daniel untuk mencari wanita malam untuk Daniel.
Daniel kembali menegak alkohol di meja dengan rakus. Rupanya dia rindu juga suasana seperti ini, sentakan musik dan alkohol yang membuatnya rileks. Dia pusing jika hanya memikirkan hidupnya yang berantakan. Hidupnya yang sudah hancur dan tidak seorang pun mengerti dirinya.
Tidak lama kemudian teman Daniel kembali bersama seorang wanita dengan gaun super pendek sehingga pangkal pahanya pun dapat terlihat. Wanita itu memandang Daniel dengan tatapan nakal.
“Gimana? Sikat gak?” tanya teman Daniel itu.
Daniel menatap ke arahnya dan tertawa.
“Ya udah, Bro. Nikmatin!!!”
Daniel kemudian menarik tangan perempuan itu untuk duduk di samping Daniel. Daniel mengelus lengan wanita itu dengan lembut. Wanita itu seakan mengerti dengan mau Daniel yang haus akan kasih sayang itu. Dia kemudian mencium bibir Daniel , keduanya berpagut dengan mesra dan panas. Tangan wanita itu mengelus d**a Daniel yang masih tertutup kaos.
Ciumannya kemudian turun ke leher Daniel. Pria itu mengeram kenikmatan karena perlakuan wanita itu. Dengan cepat dia menarik tangan wanita itu keluar menuju ke mobilnya.
Daniel ingin dipuaskan malam ini.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.