Rasanya Abel tidak rela berpisah dengan hari minggunya yang santai itu. Seharian kemarin dia dan Allysa berada di rumah melakukan banyak kegiatan rumah sehingga tanpa sadar sudah malam saja. Sekarang sudah Senin lagi. Seperti biasa, Senin pagi pasti akan menjadi jam sibuk bagi Abel.
Abel baru sampai di meja kerjanya, dia menenteng segelas kopi yang dibelinya di sebuah kafe di perjalanan menuju kantor tadi. Dulu menurut Abel, pergi kerja dengan menenteng segelas kopi adalah sesuatu yang keren tapi sekarang dia merasa bahwa kopi adalah salah satu starter-pack bagi para b***k korporat sepertinya. Seperti seragam tahanan untuk para penghuni penjara.
Luna belum datang, kemungkinan dia akan datang sekitar jam 8 pagi. Abel kemudian masuk ke ruangan Luna dan membersihkan sedikit meja kerja Luna. Matanya menangkap sebuah bingkai foto kecil berisi foto pernikahan Luna dan suaminya Lucas.
Luna teringat Lucas yang meneleponnya dua hari lalu untuk menanyakan keberadaan Luna. Abel tahu Luna dan Lucas di jodohkan, kemungkinan keduanya belum terlalu akrab.
“Apa semua orang kaya itu dijodohkan ya?” batin Abel. Karena setahunya para orang kaya yang dikenalnya pasti mengalami perjodohan.
“Apa buaya menyebalkan itu juga di jodohkan?” batin Abel.
Kalau memang dia juga akan dijodohkan maka langkah tepat bagi Abel untuk tidak terlalu menanggapi Daniel.
Abel kemudian melanjutkan pekerjaannya yaitu melihat dan memeriksa kembali jadwal Luna hari ini. Lumayan, hari ini Luna punya 4 rapat dan artinya dia harus memastikan bahwa Luna makan siang dan minum vitamin. Beberapa minggu ini, Luna selalu menyuruh Abel menemui klien saat jam makan siang sehingga dia tidak dapat memeriksa apa Luna memakan makan siang atau minum vitamin. Luna membuatnya khawatir beberapa minggu ini.
Tidak lama kemudian Luna muncul. Wanita itu selalu tampak elegan setiap saat.
“Pagi Abel,” sapanya ramah.
Tidak banyak karyawan yang disapa Luna dengan ramah seperti ini. Abel adalah salah satu yang beruntung. Dia sudah 3 tahun menjadi sekretaris Luna, mereka menjadi dekat karena itu.
“Pagi Bu,” balas Abel sambil tersenyum.
“Padat ya hari ini?”
“Iya, ada 4 rapat. Tiga rapat di kantor yang satunya di luar, Bu.”
“OK, yang rapat di luar tolong diatur ya?” kata Luna sebelum masuk ke dalam ruangannya.
“Duh, tugas luar lagi,” kata Abel. Dia kemudian berpikir bagaimana caranya Abel dapat memastikan Luna makan siang ini?.
“Pagi nona jutek.” suara yang sudah mulai akrab menyapa telinganya.
Benar sesuai perkiraan Abel. Daniel berdiri di depan meja kerjanya.
“Pagi Pak Daniel,” sapa Abel mencoba profesional jika berada di kantor.
“Nona jutek, bosmu yang jutek itu ada?” tanya Daniel lagi.
“Ibu Luna baru saja sampai, pak.”
“Oke, aku masuk ya,” kata Daniel sambil tersenyum menyebalkan.
Tidak lama kemudian Luna memanggil Abel agar masuk ke dalam ruangannya.
"Bel, rapat yang jam setengah sepuluh tolong segera disiapkan. Aku mau semuanya tepat waktu,” kata Luna.
Abel kemudian mengambil tabletnya dan mencatat apa-apa saja yang Luna perlukan untuk rapat tersebut.
“Abel ....” Daniel memanggilnya dengan nada panjang.
Langkah Abel terhenti.
“Aku sungguh suka gaunmu di malam minggu itu,” kata Daniel sambil tersenyum jahil. Dia tahu Luna akan tertarik pada pembicaraan ini. Dan benar saja, Luna sedang menatap Abel dengan tatapan menyelidik yang tajam.
“Abel?” panggil Luna.
“Gaun apa?” tanya Luna lagi.
“Ah, itu. Dia pergi ke ulang tahun temannya di kelab malam yang biasa aku datangi dan gaunnya ...,” Daniel menggantung kalimatnya.
“Sangat seksi,” lanjut Daniel dengan senyum jahil yang semakin merekah di bibirnya.
Luna mengangkat alisnya dan menatap Abel dengan tatapan minta penjelasan.
“Kamu ke kelab malam?” tanya Luna.
Abel mengangguk.
“Pakai gaun seksi?” tanya Luna lagi.
Abel kembali mengangguk.
“Minum alkohol?”
Abel menggeleng.
“Saya tidak bisa minum,” kata Abel dengan pandangan tertunduk.
“Pulang larut malam?”
“Jam setengah dua belas malam,” jawab Abel. Dia benar-benar ingin mencekik Daniel sekarang. Bisa-bisanya dia mengadu pada Luna.
“Pulang sama siapa?” tanya Luna, suaranya sudah melembut.
“Sama aku. Aku yang anterin dia,” potong Daniel. Dia tersenyum bangga.
Luna melempar majalah ke arahnya.
“Berarti itu akal-akalan kamu ya? Kamu yang sengaja bikin Abel pergi ke kelab kan? Kamu yang sengaja bikin Abel pakai gaun seksi kan? Biar kamu bisa deketin dia. Daniel! Aku udah pernah bilang jangan macam-macam sama Abel!” Luna mengamuk memukul Daniel dengan majalah di meja.
Abel yang awalnya terkejut kemudian mengulum senyum melihat Luna yang membelanya.
“Apa benar begitu?” tanya Luna pada Abel yang berdiri diam di depan mereka.
“Bilang kalau itu gak benar. Aku mana tahu kamu ke kelab itu!!” Daniel berusaha membela diri.
Sayangnya Abel bukanlah gadisnya, dia adalah gadis Luna.
“Iya, Bu,” kata Abel sambil berganti tersenyum jahil.
“Tuh kan, kamu pengen aku bunuh ya!!” Luna semakin gencar memukul Daniel membuat pria itu mengaduh kesakitan.
“Saya permisi dulu,” kata Abel sambil keluar dengan perasaan bangga.
“Rasakan itu, dasar buaya.”
***
Luna baru selesai rapat pertamanya di saat jam makan siang. Abel sudah berniat untuk membelikan Luna makanan saat kemudian langkahnya dihadang oleh Daniel.
“Kamu!!” Daniel mencengkeram lengan Abel.
“Oh oke. Gini ternyata cara main kamu. Lihat aja, aku akan bikin kamu dimarahi Luna nanti,” ancam Daniel.
Abel menarik tangannya dan menatap Daniel dengan tatapan menantang.
“Kamu pikir aku takut sama tukang ngaduh kayak kamu?”
“Oke!”
“Oke!”
Keduanya sama-sama melotot.
“Bel.” Tiba-tiba suara Luna terdengar memanggil Abel. Dengan segera Abel pergi menemui Luna.
“Ini rapat di luar kamu aja yang pergi ya. Aku mau istirahat dulu,” kata Luna.
Abel tampak ragu.
“Ibu gak makan siang dulu?” tanya Abel.
Luna menghentikan aktivitasnya dan memandang Abel. Dia tahu gadis di depannya ini mengkhawatirkannya. Dia tahu Abel selalu memperhatikan Luna baik dalam masalah pekerjaan bahkan sampai masalah kesehatan Luna.
“Nanti saya cari makan sendiri,” jawab Luna.
“Baik Bu, saya pergi dulu,” kata Abel lagi. Mudah-mudahan saja Luna benar-benar menepati perkataannya.
Ketika keluar dari ruangan dia mendapati Daniel yang sedang sibuk dengan ponselnya masih berdiri di depan ruangan. Abel awalnya ragu tapi dia tidak punya pilihan lain.
“Demi Bu Luna,” batinnya.
“Hei!” panggil Abel.
Daniel menoleh ke arah Abel kemudian kembali memperhatikan ponselnya. Dia menganggap seolah Abel tidak ada di sana.
“Bapak Daniel,” panggil Abel dengan nada yang lebih sopan.
Daniel melihat ke arahnya.
“Iya nona jutek. Ada apa?” tanya Daniel dengan nada suara yang dibuat-buat.
“Apakah Bapak Daniel yang terhormat ini akan menemani Ibu Luna makan siang?”
Daniel memandang Abel dengan tatapan bingung.
“Buat apa aku menemani Istri orang makan siang? Kamu tahu gak kemarin aku hampir dilabrak sama suaminya?” kata Daniel lagi.
Abel terdiam, dia bingung.
“Baiklah,” kata Abel. Dia terlihat murung.
“Kenapa? Kamu khawatir sama Luna?”
Abel mengangguk.
“Oke, akan ku temani dia makan siang,” kata Daniel.
Mata Abel langsung berbinar menatap ke arah Daniel.
“Tapi ....” Daniel menggantung kata-katanya.
“Kamu harus menuruti satu permintaan aku,” kata Daniel lagi.
Abel yang mendengar hal itu kemudian menjadi panik. Dengan perlahan dia menutupi bagian depan tubuhnya.
“Aku gak akan minta yang aneh-aneh. Stop mikir seolah-olah aku ini pria m***m!”
“Ya memang benar,” kata Abel santai.
“Apanya yang benar?” tanya Daniel emosi.
“Ya m***m itu,” jawab Abel lagi.
“Kamu benar-benar ya, ya udah lupakan aja. Aku gak mau bantuin kamu!” kata Daniel merajuk.
Pria itu menyerongkan tubuhnya dengan tangan yang terlipat di d**a.
“Duh, Bapak itu bukan anak kecil lagi. Tolong sadar umur dan tampang. Tolong lakukan ini demi sahabat bapak sendiri,” protes Abel.
Mata Daniel membulat mendapat omelan dari Abel. Berani sekali anak ini mengomeli Daniel.
“Ya udah, satu syarat aja kan? Oke akan saya turuti yang penting bukan hal m***m,” kata Abel.
Daniel meliriknya dengan tajam.
“Janji?” tanya Daniel.
“Janji!” ucap Abel sambil mengangkat dua jarinya.
“Ya udah, tolong dibantu ya. Saya udah harus berangkat rapat. Thank you,” kata Abel sebelum berlari meninggalkan Daniel yang masih berdiri mematung di tempatnya.
“Kok kayak dia yang bos ya?” batin Daniel tidak terima.
***
Abel duduk di samping Luna yang masih tertidur di UGD. Wanita itu pingsan setelah berhari-hari bahkan minggu tidak peduli pada dirinya sendiri.
Abel setia menunggu Luna yang masih belum sadar juga. Walaupun kondisinya sudah stabil tapi dia sepertinya memang sangat kelelahan. Selain itu juga Abel merasa ada yang aneh dengan keluarga Luna begitu juga suaminya. Sampai saat ini hanya Abel yang menemani Luna. Dan dia tidak masalah sama sekali.
Abel menyayangi Luna lebih dari sekedar bosnya. Luna sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri. Luna bahkan pernah bilang bahwa dia ingin dia dan Abel bisa menjadi dekat. Luna juga begitu percaya pada Abel yang hanya lulusan SMA untuk menjadi tangan kanan Luna.
Hubungannya dengan Luna juga keluarga Luna memang sangat dekat. Abel adalah anak dari yayasan panti asuhan milik keluarga Luna. Dulu, Luna sering datang ke panti. Paling tidak sebulan sekali. Abel yang saat itu masih kecil sangat menunggu kedatangan Luna. Karena setiap datang Luna pasti akan membawa mainan, buku dan juga akan bermain bersama Abel.
Sayang kedatangan Luna yang rutin itu menjadi terhenti karena ketika Luna menginjak bangku SMP dia dipindahkan ke luar negeri. Saat lulus SMA, Luna kembali datang pada Abel dan mengajaknya untuk bekerja pada Luna sebagai sekretarisnya.
Abel bahkan masih ingat bagaimana Luna mendidiknya dengan keras. Dia tidak segan memarahi Abel jika gadis itu membuat kesalahan bahkan kesalahan kecil saat awal-awal ia bekerja bersama Luna. Sampai beberapa tahun kemudian Luna mendirikan perusahaannya sendiri, Abel adalah satu-satunya pegawai dari kantor ayahnya yang dibawa Luna.
Karena hal itulah Abel menjelma bukan hanya sebagai sekretaris yang mengurusi pekerjaan saja tapi juga kebutuhan pribadi Luna. Seperti makan, tidur, dan juga teman curhat Luna. Itu juga kenapa Luna sangat menjaga Abel, karena dia sudah menganggap Abel seperti Adiknya sendiri.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, sebuah nomor baru muncul di layar ponselnya.
“Halo?” sapa Abel saat mengangkat sambungan telepon itu.
“Hei wanita jutek,” suara Daniel terdengar di pengeras suara ponselnya.
“Gimana caranya dapat nomorku?” tanya Abel bingung. Karena seingatnya lelaki itu tidak pernah meminta nomor teleponnya dan tidak pernah juga dia memberikan nomor teleponnya.
“Nomor Presiden saja aku punya, apalagi cuma nomor kamu,” kata Daniel dengan santai.
Ya, untuk sesaat Abel lupa kalau Daniel adalah putra pengusaha kaya yang tentunya punya kekuasaan yang luas.
“Kenapa telepon?” tanya Abel.
“Aku dengar Luna masuk rumah sakit, aku cuma ingin tahu kondisinya,” kata Daniel.
“Masih belum sadar, masih menunggu hasil darah,” jelas Abel.
“Pantas dia sangat kesakitan tadi,” ujar Daniel.
“Bu Luna kesakitan dan kamu gak bawa dia ke rumah sakit? Teman macam apa kamu ini?” cerca Abel.
“Memangnya kamu bisa bikin dia ke rumah sakit dengan keadaan sadar?”
Abel terdiam, ya memang benar apa yang dikatakan Daniel.
“Udah, nanti aku pasti jenguk dia. By the way, ini aku mau kirim bukti bahwa aku nemenin Luna makan-dia makan makanannya. Dan juga waktu dia minum vitamin. Janji aku Lunas,” kata Daniel lagi.
“Sekarang aku tinggal menagih janji kamu,” kata Daniel.
Abel menghembuskan nafas pasrah.
“Ya sudah, apa maumu? Ingat! Tidak boleh hal m***m!!”
“Nanti saja, akan ku gunakan nanti saja. Kamu juga tidak menulis kapan kupon ini akan kadaluwarsa, kan?”
Kupon. Ya. Abel dengan bodohnya membuat sebuah kupon dari secarik kertas yang dia ambil di meja resepsionis ketika Daniel mengejarnya sebelum dia pergi tadi.
Kata Daniel dia butuh bukti fisik agar memastikan bahwa Abel tidak akan ingkar janji. Tapi sayangnya Abel tidak berpikir matang-matang saat membuatnya. Sekarang Daniel memanfaatkannya.
“Tapi kalau kuponnya hilang, janjiku juga hilang. Oke?”
“Tentu saja.”
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.