Abel mencatat kembali semua materi yang dibicarakan pada rapat kali ini. Kali ini mereka membicarakan diskon ong-kir yang akan diberikan dengan beberapa perusahaan ekspedisi yang sebelumnya sudah pernah bekerja sama dengan mereka. Kehadiran Abel sangat membantu membuat rapat ini berjalan sesuai dengan rencana awal.
Abel tampak sudah banyak belajar dari Luna. Dia menangani pertanyaan dan menjawabnya dengan baik. Dia juga mampu membuka diskusi sehingga rapatnya berjalan dengan lancar. Pekerjaan Luna yang ditangani Abel memang hanya 4 proyek tapi ini adalah proyek-proyek besar dan potensial bagi perusahaan mereka.
Hal ini tentu saja sangat menyita waktu Abel, dia bahkan sekarang hampir menjadi Luna yang sering sekali lupa makan. Seperti hari ini jika tidak diingatkan, Abel akan lupa kalau dirinya belum makan sejak pagi dan sekarang hari sudah sore.
“Baik, untuk kesimpulannya kita akan memberikan dua opsi pada pelanggan yaitu diskon ongkos kirim empat puluh persen untuk estimasi tiga sampai empat hari dan enam puluh persen untuk lima sampai enam hari. Bagaimana? Apakah bisa diterima?” tanya Abel.
Para peserta rapat yang kebanyakan adalah para pria paruh baya itu mengangguk-angguk sambil saling melihat.
“Jika Bapak-Bapak setuju silakan untuk menekan tombol merah di tablet yang ada di depan Bapak-Bapak sekalian,” lanjut Abel.
Para peserta rapat itu pun segera mengambil tablet canggih itu dan menekan pilihan mereka. Hasil real voting langsung muncul di layar dan hasilnya suara bulat untuk setuju. Abel tersenyum, artinya satu pekerjaannya hari ini selesai.
“Nona Abel ternyata berbakat juga. Nona Luna memang tidak salah memilih tangan kanannya,” ucap salah seorang pria paruh baya yang diketahui Abel merupakan direktur gesit express, salah satu perusahaan ekspedisi terbesar di negara ini.
Abel tersenyum, “Terima kasih, Pak.” Abel kemudian mengantarkan pria itu menuju pintu.
“Semoga Nona Luna cepat sembuh,” katanya lagi.
Abel sedikit membungkuk untuk memberikan rasa hormatnya.
“Ya, Terima kasih atas doanya,” kata Abel sambil tersenyum menatap kepergian pria paruh baya itu.
“Aku masih ada berapa rapat lagi?” tanya Abel pada asistennya.
Seorang gadis muda yang sedang magang di perusahaan ini diambil Abel untuk menjadi asistennya. Ternyata hidup menjadi Luna itu sangat sulit. Itulah mengapa Luna sangat membutuhkan Abel. Karena jujur saja, baru seminggu sejak Luna harus bed rest di rumah sakit tapi Abel sudah sangat kepayahan mengatur waktunya.
“Tinggal satu rapat, Bu. Dengan perwakilan dari Wijaya grup,” kata Katrin--nama asisten Abel.
“Akh, buaya rawa itu lagi,” gumam Abel tapi masih dapat didengar Katrin.
“Mau dihubungi terlebih dahulu, Bu?” tanya Katrin.
Dia sudah hafal betul dengan perwakilan Wijaya grup-Daniel ini. Dia tidak mau rapat di kantor mereka tapi selalu memilih untuk rapat di luar sambil makan atau minum kopi. Dia juga sering sekali beradu argumen dengan Abel, lebih tepatnya argumen tidak penting seperti mana yang duluan, ayam atau telur.
“Gak usah, nanti juga orangnya telepon. Saya mau istirahat sebentar. Hasil rapatnya kamu kirim aja ke bagian pemasaran, terus kamu udah bisa pulang. Makasih ya,” kata Abel.
“Baik Bu, terima kasih. Mau sekalian saya pesankan makanan aja Bu? Dari tadi Ibu belum makan,” kata Katrin.
Makan. Ya, Abel lupa soal itu lagi.
“Gak perlu, saya pasti makan saat rapat sama Wijaya grup,” kata Abel.
Katrin kemudian beranjak pergi dan Abel juga kembali ke ruangannya. Semenjak menggantikan Luna dirinya mendapatkan ruangan sendiri bukan lagi berada di depan ruangan Luna. Ini cukup membantunya untuk beristirahat. Dia benar-benar lelah tapi dia tidak dapat berhenti juga.
Abel menutup matanya dan memijit pelipisnya yang pusing. Dia benar-benar sudah kehilangan tenaga. Dia duduk dengan berselonjorlah di kursinya.
“Rapatnya lima belas menit lagi dan kamu malah asyik leyeh-leyeh di situ.”
Sebuah suara yang berasa di depan pintu mengagetkan Abel. Dia pikir itu Ray ternyata Daniellah yang sedang berdiri di depan pintu ruangannya. Pria itu menggunakan kemeja berwarna putih dengan kancing yang rendah sehingga menampilkan sebagian dadanya. Tangannya masuk ke dalam kantong celana bahannya dengan posisi menyender miring di pintu.
Abel memperhatikan lagi, ada yang berbeda dari Daniel. Ah, iya pria itu sudah memotong rambutnya sehingga membuatnya terlihat lebih segar dan tampan.
“Duduk dengan baik,” kata Daniel lagi.
Abel melirik ke badannya, ternyata blazernya terbuka membuat bagian bahu dan sebagian dadanya terekspos.
“Dih, dasar m***m,” kata Abel.
Daniel membulatkan matanya tidak percaya mendengar kata-kata Abel. Dia kemudian meluruskan posisi berdirinya.
“Padahal aku yang ngasih tahu. Kamu tunggu satu kantor lihat kamu dulu baru kamu sadar?”
Abel melihat ke arah dinding kacanya. Daniel benar, siapa pun yang lewat di depan ruangan Abel dapat melihat Abel dengan posisi seperti tadi karena Abel tidak menggelapkan kacanya.
“Kok kamu bisa masuk?” tanya Abel.
“Gak sopan!” kata Abel lagi.
“Pintu ini tadi terbuka,” jawab Daniel santai kemudian berjalan masuk dan duduk di sofa yang ada di ruangan Abel.
“Wah, udah jadi bos kamu,” kata Daniel lagi sambil memperhatikan setiap sudut ruangan Abel.
“Aku cuma dipinjamkan ruangan. Setelah Ibu Luna sembuh, aku akan kembali ke tempatku,” kata Abel. Dia kemudian mempersiapkan dokumen untuk rapat dengan Daniel.
“Kamu mau jadi bos selamanya gak?” tanya Daniel.
Matanya menatap Abel dengan lekat. Abel sampai keheranan.
“Maksud kamu?” tanya Abel.
“Kamu bisa loh, gak perlu kerja tapi jadi bos. Dihormati, punya banyak uang lagi,” kata Daniel lagi.
“Gak! Aku gak tertarik pindah ke perusahaan kamu!” ketus Abel. Dia berdiri dari kursinya dan menuju pintu.
“Kan sudah kubilang, tidak perlu bekerja,” kata Daniel lagi yang juga ikut berdiri.
Langkah Abel terhenti. Dia kemudian memandang Daniel.
“Apa itu?” tanya Abel lagi karena penasaran.
“Jadi nyonya Wijaya,” kata Daniel sambil tersenyum menahan tertawa.
Abel memutar bola matanya malas.
“Hueek.” Abel memperagakan pose orang muntah.
“Mendingan aku jadi b***k korporat selamanya daripada nyonyamu,” kata Abel lagi.
Daniel mengangkat sebelah alisnya.
“Yang bilang jadi nyonya aku siapa? Siapa juga yang pengen kamu jadi istri aku? Kamu itu jauh banget dari kriteria aku,” kata Daniel.
“Terus?”
“Buat Donald, ini dia,” kata Daniel sambil menunjukkan gambar anjing berjenis shiba berwajah imut.
“Dia juga keluargaku, namanya aja ada di kartu keluargaku. Sepertinya juga dapat warisan dari Ayah. Yang dia belum punya adalah istri. Kalau kamu mau,” kata Daniel dengan tatapan mengejek. Dia merasa sangat puas sekarang karena berhasil mengerjai Abel.
Abel tersenyum miring.
“Kalau dia kaya aku mau. Nanti bayangkan apa kata media yang akan memberitakan bahwa seekor anjing keluarga Wijaya berhasil menikahi sosok wanita cantik sedangkan anaknya menjadi jomblo lapuk!”
Skak mat. Abel menang.
****
Daniel masih kesal dengan perkataan Abel tadi. Dia masih tidak terima karena kalah argumen dengan wanita pintar itu. Makanya dia sedang membalas Abel sekarang. Daniel mengemudikan mobil sportnya dengan ugal-ugalan membuat Abel berteriak setiap kali Daniel menyalip kendaraan di depan mereka .
“Daniel!!!” pekik Abel saat mobil Daniel menyalip dengan jarak senti dengan kendaraan di depan mereka.
Daniel tersenyum miring.
“Daniel kamu lagi gak muat malaikat maut. Kamu kalau mau mati, mati aja sendirian! Aku masih mau hidup, cicilanku masih banyak, rumahku juga masih kredit.” Abel berteriak lagi.
Daniel terkekeh pelan. Bisa-bisanya orang lagi ketakutan yang dipikir bukan Tuhan malah cicilan.
Nyatanya, Daniel memang mahir mengemudi. Mereka sampai dengan mulus dan tanpa lecet sedikit pun di kafe langganan mereka. Abel merasa isi perutnya yang masih sedikit itu akan segera keluar karena kelakuan dajal Daniel.
Dia kemudian melayangkan pukulan ke lengan Daniel dengan mantap saat pria itu mematikan mesin mobil.
“Aduh!” Daniel mengelus bekas pukulan Abel dan memandang gadis itu dengan kesal.
“Udah diantar bukannya terima kasih malah—“
“Malah apa? Ini jantung udah mau copot gara-gara kamu!” protes Abel.
“Ya emang begini kalau naik mobil sport. Kamu kalau masih yang lambat naik odong-odong sana!. Udah ayo turun,” kata Daniel kemudian keluar dari mobilnya.
Sementara Abel masih meraih nafas sebanyak-banyaknya karena tadi kehilangan nafas saat perjalanan, menghadapi Daniel juga butuh banyak kesabaran.
“Mau makan apa?” tanya Daniel begitu Abel duduk di depannya.
“Aku gak makan!” ketus Abel. Dia masih kesal dengan Daniel.
“Aku tahu kamu belum makan seharian ini, kan? Aku pesananin soto aja ya,” kata Daniel dengan nada lembut.
Abel menatap Daniel dengan keheranan lagi. Dia tidak menemukan Daniel yang menyebalkan. Bagaimana mungkin pria itu berubah dalam sepersekian menit? Apa dia punya kepribadian ganda?
“Muka kamu kelihatan capek banget,” kata Daniel. Dia mengeluarkan sebungkus rokok mengambil satu batang dan menyalakannya.
Abel langsung terbatuk begitu menghirup asap rokok Daniel.
“Kenapa?” tanya Daniel.
“Aku sesak nafas kalau kena asap rokok,” kata Abel.
Dengan cepat Daniel mematikan rokoknya.
“Sorry,” ujar Daniel.
Abel mengangguk sambil mengipas-ngipaskan asap rokok itu agar menjauh dari hidungnya.
“Kerjaan kamu masih banyak ya?” tanya Daniel lagi.
Abel mengangguk lagi, matanya sibuk membaca hasil rapat terakhir dengan Daniel.
“Kalau begitu kamu jangan sampai ngelewatin makan dan minum vitamin. Jangan sampai sakit,” kata Daniel dengan tulus.
“Hah? Apa??” ternyata Abel tidak mendengarkan kata-kata Daniel membuat pria itu seketika kesal.
“Aku bilang makan makanya nanti kalau kamu mati yang repot Luna lagi!” Daniel mendengus kesal.
Abel kembali menatap tablet elektroniknya dan tidak peduli pada Daniel. Daniel menatap Abel sambil tersenyum, bisa-bisanya Abel melewatkan kesempatan langka saat Daniel sedang tulus kepadanya.
“Arghh... aku lagi frustrasi banget sekarang!” kata Abel tiba-tiba.
Daniel mengerjapkan mata beberapa kali masih kaget dengan Abel yang tiba-tiba marah-marah itu.
“Kenapa?” tanya Daniel.
“Sebel banget. Klien aku tuh semuanya orang senior. Ada aja yang mau direvisi, padahal tadi udah setuju semua,” kata Abel lagi.
Daniel melirik lagi ke tablet Abel, layarnya menampilkan obrolan daring sebuah aplikasi.
“Mentang-mentang mereka senior, direktur, apalah itu jadi bisa seenaknya mereka gonta-ganti sembarangan. Kan itu udah aku kirim ke tim pemasaran. Ganti lagi deh,” keluh Abel.
“Terus? Mau apa? Mereka lebih berkuasa walaupun mereka klien kamu,” kata Daniel.
“Duh, punya klien tua banyak maunya, yang muda juga semaunya,”
Daniel memandang Abel lagi.
“Memangnya berapa banyak klien muda kamu?”
“Cuma satu,” kata Abel lagi.
Skak mat. Abel menang lagi.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.