Daniel menunggu di tempat parkir sambil merokok. Para pengawalnya sedang membawa mobilnya ke sini. Lelaki itu memandang langit malam. Entah kenapa langit malam itu kembali membawa kenangannya dengan Nara. Dulu, dia suka sekali duduk di balkon apartemen Daniel dan melihat langit malam bersama.
Daniel tersenyum getir saat mengingat hal itu. Apa Nara juga akan mengingatnya kalau wanita itu melihat langit malam?. Daniel menyeka mukanya kasar, sudah lama tapi kenangan Nara masih terus hidup dalam Daniel.
Tiba-tiba saja Daniel mendengar suara perempuan yang menangis. Daniel sempat bergidik takut membayangkan jangan-jangan itu hantu. Daniel mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat parkir itu. Matanya kemudian menangkap sosok yang terduduk di tanah dan mengenali sosok itu sebagai Abel. Karena penasaran dia pun menghampiri gadis itu.
“Abel,” panggil Daniel.
Abel mengarahkan pandangannya ke Daniel. Tangisnya semakin pecah.
“Hei, sudah-sudah jangan menangis. Si b******k itu sudah ditangkap,” kata Daniel sambil ikut berjongkok. Perlahan-lahan dia mengarahkan tangannya dan mengelus kepala Abel.
“Kamu pasti sangat ketakutan tadi. Sudah, nanti kita ke psikiater biar kamu tidak terpikir hal itu terus,” kata Daniel lagi.
“Lagian, gimana ceritanya kamu bisa ke sini? Ditambah dengan pakaian kamu yang, astaga ... kamu kerasukan atau apa?”
Daniel melepas jasnya dan memasangkan jasnya ke tubuh Abel.
“Luna pasti akan marah besar kalau dia sampai tahu kamu ke tempat seperti ini,” kata Daniel yang ikut berjongkok di depan Abel.
Perkataan Daniel malah membuat Abel semakin keras menangis.
“A-aku di-diajak te-teman,” ujar Abel terbata-bata.
“Terus mana teman kamu? Kok ninggalin kamu?” tanya Daniel.
“Di-di dalam.” Abel menunjuk ke arah kelab malam itu.
“Lagi ngerayain ulang tahun. Aku gak mau bikin keributan di hari ulang tahunnya dia,” kata Abel lagi.
“Makanya kamu kabur tadi?” tanya Daniel lagi.
Abel kembali menangis sambil mengangguk.
Daniel memandang Abel dengan simpati. Tadinya dia sempat berpikir buruk mengenai Abel dan berpikir bahwa Luna salah dalam menilai Abel. Tapi nyatanya memang Luna benar, Abel hanya terlalu polos saja.
“Sudah, sudah jangan menangis terus. Aku antar kamu pulang,” kata Daniel lagi.
Abel menggeleng.
“Aku nunggu teman aku aja,”
“Yakin temen kamu masih sadar nanti pas pulang? Lagian ini juga baru jam 11 malam. Biasanya mereka baru akan bubar jam 4 pagi.” Kata Daniel lagi.
Tiba-tiba sebuah sorot lampu mobil mengenai Daniel. Mobilnya sudah tiba.
“Yuk, aku antar pulang. Luna bisa ngamuk kalau aku membiarkan kamu di sini sendirian sampai pagi,” kata Daniel sambil menarik tangan Abel pelan.
Abel kemudian menurut. Dia mengikuti Daniel menuju mobil mewah itu. Daniel pun membuka pintu untuk Abel dan membiarkan gadis itu masuk ke dalam mobilnya.
“Tuan mau ke hotel seperti biasa?” tanya sang pengawal.
Pengawal itu mengira bahwa Abel adalah wanita pemuas nafsu Daniel seperti biasanya.
“Hah? Kenapa aku mau dibawa ke hotel?” tanya Abel panik.
Daniel membulatkan matanya. Dia melirik ke arah Abel yang sudah pasti mendengar pertanyaan pengawalnya itu. Wajah Abel berubah panik.
“Aku akan mengantar temanku lalu pulang ke apartemen,” kata Daniel dengan ekspresi siap menelan pengawalnya itu. Pengawal itu hanya mundur sedikit kemudian membungkuk saat Daniel masuk mobil sampai Daniel menjalankan mobilnya.
“Maaf,” kata Daniel memecahkan keheningan di antara mereka.
“Buat apa?” tanya Abel.
“Karena perkataanku tadi, aku tidak benar-benar bermaksud mengatakannya,” ujar Daniel.
Abel menganggukkan kepalanya.
“Aku bisa mengerti kenapa kamu berpikir seperti itu,” kata Abel.
“Terima kasih udah menyelamatkan aku hari ini,” kata Abel lagi sambil menundukkan kepalanya.
“Aku gak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu gak menolong aku tadi.” Abel menarik nafas panjang.
Sebuah beban seperti mulai hilang dari bahunya.
“Lain kali jangan sok ide pergi ke kelab malam. Di sana prianya lebih berbahaya 10 kali lipat,” kata Daniel.
“Termasuk kamu?” tanya Abel.
Lidah Daniel tercekat, dia tidak tahu harus membalas apa.
“Dari apa yang kudengar juga kamu sepertinya sering membawa wanita pulang ke hotel,”
“Pria memang seperti itu. Kebutuhan kami banyak,” kata Daniel lagi.
“Itu kenapa Bu Luna bilang kamu berbahaya,” ucap Abel.
“Dia bilang aku berbahaya?” Daniel terkejut karena ternyata Luna memang sudah memperingati Abel. Luna benar-benar sayang pada sekretarisnya ini.
“Yup!” Abel mengangguk.
“Padahal aku baik,” kata Daniel.
“Orang baik pun bisa jadi berbahaya jika kondisi memungkinkan,” kata Abel yang lagi-lagi tepat mengenai harga diri Daniel.
“Kamu cerewet sekali, padahal sedang ku antar pulang,” protes Daniel.
“Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kata Bu Luna kamu itu playboy dan suka main wanita. Kamu juga tidak pernah setia bahkan ketika kamu sudah punya pacar,”
Hati Daniel tiba-tiba panas.
“Bisa diam tidak, kalau tidak aku turunkan kamu di sini!”
“Aku tidak minta kamu antar, kamu yang memaksa,” kata Abel santai.
Daniel terkejut karena Abel yang selalu menjawab. Dia tidak suka saat ada yang membantahnya apalagi seorang wanita. Mana yang diucapkan Abel benar lagi.
“Kok diam?” tanya Abel lagi.
“Malas ngomong sama kamu,” ucap Daniel.
Semakin lama dia bicara dengan Abel, semakin kentara persamaan Abel dengan Luna.
Luna sepertinya membuat Abel sebagai kloningnya. Daniel bergidik ngeri.
“Oh.” Abel kemudian memandang pemandangan di sampingnya.
Daniel melirik ke arah Abel lagi yang seolah tidak peduli padanya. Bagaimana mungkin gadis itu mengabaikannya? Dia adalah Daniel, sang pemikat wanita.
“Hei!!” tegur Daniel.
“Hm, kenapa?” tanya Abel.
“Kenapa diam?”
“Kata kamu malas ngomong sama aku,” ucap Abel santai.
“Ya, tetap saja. Jangan diam terus, kalau aku mengantuk terus kita tabrakan gimana?”
Tangan Abel kemudian memukul pelan lengan Daniel.
“Jangan ngomong kayak gitu, pamalih.”
Daniel malah terkekeh.
“Ini rumah kamu yang mana?” tanya Daniel saat mobilnya memasuki sebuah kawasan perumahan.
“Itu yang pagar biru,” kata Abel sambil menunjuk sebuah rumah dengan pohon Kamboja di depannya.
“Makasih udah nolongin aku sama anterin aku,” kata Abel. Kali ini nada bicaranya menjadi sopan.
“Kamu tinggal sendirian?” tanya Daniel setelah melihat lampu rumah Abel yang masih mati.
Abel mengangguk.
“Ehm, apa kamu punya kakak atau mungkin saudara?”
Abel menatap Daniel heran.
“Aku dari dulu sendirian.” Perasaan sedih kembali menyelimuti hatinya.
“Oh, maaf.” Kata Daniel yang sedikit merasa bersalah karena melihat perubahan mimik wajah Abel.
“Abel ...,” panggil Daniel lagi.
Gadis itu berdeham.
“Boleh aku kenal kamu lebih dalam?” tanya Daniel.
“Tapi kata Bu Luna-“
“Jangan dengar kata orang kalau belum kenal orangnya. Belum tentu penilaian orang itu benar,” kata Daniel.
Harus Daniel akui, dia merasa tertarik pada Abel bukan karena dia ingin meniduri Abel. Tapi karena Abel mirip dengan Nara.
“Memangnya apa yang membuat kamu tertarik sama aku? Aku tidak terlalu cantik, kaya apalagi,”
Daniel terdiam, dia tidak mungkin mengatakan bahwa Abel mirip dengan Nara. Sosok yang masih sangat dia cintai.
“Karena kamu unik. Gak ada wanita mana pun yang pernah membentak saya. Bahkan Mamaku saja tidak pernah,”
Abel terdiam lagi. Dia menarik nafas membuat Daniel menjadi deg-degan.
“Gak mau. Kata Bu Luna kamu bermulut manis tapi buaya. Bye,”
Abel langsung turun meninggalkan Daniel yang diam kebingungan. Gadis ini baru saja membodohinya? Awas saja dia!!.
***
Allysa berlari memasuki rumah Abel. Hari ini hari minggu dan wanita itu pasti sedang berdiam di rumahnya. Dia baru saja mendengar kabar bahwa Abel di lecehkan oleh Arthur semalam. Dia juga baru sadar dari sisa mabuk semalamnya dan merasa sangat khawatir serta bersalah pada Abel.
Allysa langsung melayangkan pelukan ketika Abel membuka pintunya.
“Maafin Gue, Bel,” ucap Allysa.
Dia benar-benar menyesal telah membawa Abel ke pestanya dan membuat gadis itu hampir celaka. Sungguh niatnya hanya ingin Abel dapat berkenalan dengan pria-pria di sana. Sayangnya dia malah kenalan dengan pria b******k seperti Arthur.
Abel yang paham situasinya hanya diam. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi dia memang marah pada Allysa tapi di sisi lain dia tahu Allysa tidak mungkin sengaja membuatnya mengalami hal buruk seperti itu.
“Gue udah salah banget ninggalin Lo sama mereka,” kata Allysa lagi.
“Masuk dulu.” Abel kemudian mempersilahkan Allysa masuk.
“Gimana ceritanya? Lo tenang aja karena Arthur udah Gue pecat secara tidak hormat dari kantor Gue,” kata Allysa.
Abel duduk di samping Allysa.
“Ya gitu, dari Lo pergi dia terus aja dekat-dekat Gue sampe Gue nggak nyaman. Akhirnya Gue mutusin buat ke toilet tapi dia malah ngejar Gue dan--”
“Ya gitu.” Kata Abel.
“Maafin Gue ya, Bel.” Allysa menggenggam tangan Abel. Dia tahu Abel pasti sangat terkejut dan ketakutan waktu itu sementara dirinya asyik menghibur diri dengan teman-temannya yang lain.
“Iya, bukan salah Lo juga kok.” Kata Abel.
“Yang pasti Gue gak mau lagi ke kelab malam mulai sekarang,” kata Abel sambil menatap Allysa tajam.
“Iya... Iya... Gue gak akan bikin Lo datang lagi ke kelab malam, Janji.” Allysa mengacukan 2 jarinya kemudian memeluk lagi sahabatnya itu.
“Sekarang Lo tanggung jawab, Gue laper.” Abel menaikkan kakinya di meja dan melipat tangan di dadanya berlagak bos.
“Oke siap, bos. Bos mau makan apa? Saya pesanin nih,” ujar Allysa membuat keduanya tertawa.
Bagaimana pun hanya Allysa yang selama ini menemaninya. Abel tahu Allysa tidak melakukan ini dengan sengaja. Sahabatnya itu hanya ingin agar Abel dapat bergaul dan mungkin bisa segera punya pacar.
“Kamu di antar siapa tadi malam?”
“Hah?” Abel mengerjap sebentar dia ingin mengatakan pulang dengan taksi karena tidak mau menyebut nama Daniel.
“Soalnya kata satpam kamu pulang diantar seseorang,” lanjut Allysa lagi.
“Damn it!” maki Abel dalam hati.
“Sama teman aku. Kebetulan ketemu di situ.”
“oh, terus--,”
“Aku mau nasi padang. Kamu udah pesan belum?” potong Abel sebelum Allysa banyak bertanya soal Daniel.
Rasanya terlalu awal membicarakan Daniel. Apalagi seperti kata Luna pria itu memang bermulut manis. Dia tidak bisa terlalu percaya padanya.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.