“Wuah, wuah! Benar-benar sangat berani aktor tampan kita ini rupanya?”
Suara jahil dan keras dari Ken membuat Arkan yang tidur sambil memeluk erat Casilda di ranjang pasien terbangun kaget, dan segera memberikan gerakan telunjuk di mulut, kode agar dia tidak berisik. Ternyata Arkan tertidur ketika hatinya sedikit lebih ringan usai memberikan pernyataan resmi di akun Linkstagramnya.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 8 pagi lewat, perasaannya masih sedikit mengantuk, dan wajah tampannya yang kusut terlihat jelas.
Dokter Ken mencibir santai, lalu berkata pelan sambil menatap sang aktor turun perlahan dari ranjang pasien. “Kamu sangat berani tidur berpelukan seperti itu dengan pintu tidak terkunci. Untung saja ini kamar VIP, dan tidak ada yang berani masuk sembarangan. Kalau tidak, kalian pasti sudah membuat gempar seluruh dunia,” ujar Ken dengan nada jahil, terkekeh setengah mengejek.
“Berisik. Untuk apa aku bayar mahal-mahal rumah sakit ini kalau tidak bisa menjaga privasi pasiennya?” gerutu Arkan malas, berjalan ke meja di dekat ranjang pasien, lalu menuang air di gelas.
Ken mengedikkan kedua bahu malas, kedua tangan berada di saku jas putihnya. “Tetap saja. Kamu tidak boleh ceroboh seperti itu. Kalau bukan aku yang masuk barusan, mungkin fotomu yang luar biasa sudah beredar di internet, sama seperti foto ciumanmu sekarang ini. Apa Casilda tidak sedih melihatnya?”
“Jangan ungkit itu! Aku tidak pernah menciumnya! Dia sendiri yang maju duluan seperti bebek tidak tahu diri!”
Mendengar pengakuannya yang marah dan wajah kesalnya terpampang seperti ingin membunuh orang, Ken terkekeh dan duduk santai di tepi ranjang pasien.
“Aku sudah melihat gosip barumu pagi ini. Di ruang perawat, semuanya sibuk membicarakanmu. Kamu bahkan sudah masuk ke berita gosip di TV. Lisa bahkan sudah melihat semuanya, dan beberapa paparazzi mengepung hotel tempatnya menginap. Kasihan sekali, padahal dia sedang sibuk-sibuknya saat ini. Kalian akan ke Amerika, bukan?”
Arkan tidak peduli dengan ocehan Ken, melirik ke arah Casilda yang masih tertidur di sebelahnya. Jakun pria ini bergerak pelan ketika air menyegarkan menuruni tenggorokannya.
Tidur Casilda sangat nyenyak. Apakah datang bulannya sangat menyakitkan dan menguras darahnya sangat banyak?
“Kenapa?” tanya Ken pendek, mengamati sikap tidak biasa Arkan.
“Dia tidak perlu transfusi darah, kan?”
Ken tergelak mendengar kekonyolannya. “Kamu ini bicara apa? Wanita mana yang sedang datang bulan, lantas butuh transfusi darah? Apa kamu benar adalah lulusan nomor satu di jurusan kedokteran?”
Ken yang tertawa lucu seketika terdiam begitu melihat wajah serius Arkan yang terus mengamati istrinya.
“Ya, ampun. Kalau kamu sangat peduli kepadanya, kenapa malah suka menyiksanya tidak karuan selama ini?” tanyanya heran, kening mengerut dalam.
“Apa katamu?”
Ken terkejut, kedua bahu naik dan menggeleng cepat. Menyadari nada suaranya sudah setipis lapisan es dan tajam.
“Tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa. Oh, ya, mengenai obat pencegah kehamilan yang kamu minta dulu, saranku sebaiknya dia jangan sampai mengkonsumsinya. Apakah kamu tidak ingin punya anak dengannya? Dengan kondisinya yang seperti itu, mengonsumi obat pasti akan berefek kuat kepada tubuhnya.”
Arkan terdiam sejenak dengan ekspresi rumit, keningnya bertaut kencang. Gelas digenggam tepat di depan bibirnya. Sepertinya sedang berpikir rumit sambil terus menatap wanita di ranjang pasien.
Di benak pria ini, kata-kata Casilda bermain dengan sangat tidak nyaman. Setelah dipikir-pikir, jangan-jangan dia marah karena menyuruhnya minum obat?
“Eng... selain daripada itu, kamu tahu, kan, kalau mengonsumsi obat terus-menerus seperti itu benar-benar tidak baik untuk kesehatan? Kamu tidak ingin dia sampai mengalami masalah kesehatan serius lebih daripada ini, kan? Reaksimu ini sudah sangat jelas seperti apa kamu kepadanya. Masih ingin menyuruhnya minum obat? Kamu masih tidak bisa menurunkan egomu, ya?”
Arkan bergerak pelan, menaikkan pandangan dinginnya. “Berikan aku laporan lengkap kesehatannya.”
“Hah?”
“Apa aku harus mengulanginya?” tanya Arkan muram, menggelap dingin dengan raut wajah tak bisa dibantah.
Ken keringat gelisah, tersenyum kikuk.
“Baiklah. Nanti aku akan membawakannya setelah makan siang. Tapi, Arkan, kamu benar-benar harus merawatnya dengan baik. Dia itu adalah istrimu, tanggung jawabmu. Jangan sampai kamu menyesalinya ketika semua sudah terlambat. Kali ini, mungkin saja hanya datang bulan yang membuatmu panik dan cemas sampai membentak para dokter dan perawat, ke depannya entah apa yang bisa terjadi. Aku sarankan kamu benar-benar menjaga sikapmu. Aku tidak jamin masih bisa bersikap baik kepadamu seperti sekarang jika kamu berbuat hal di luar nalar lagi kepadanya. Bagaimana kalau aku mengenalkanmu dengan salah satu psikiater dan psikolog kenalanku? Temparamenmu harus dikendalikan, Arkan. Jika tidak, itu akan mengendalikan dirimu dan membuat orang-orang yang kamu sayangi tersakiti.”
“Aku tidak butuh ceramah darimu. Cepat keluar kalau tidak ada kepentingan di sini,” gerutu Arkan malas, meletakkan gelas yang berisi separuh air ke atas meja dengan bunyi cukup keras.
Ken menghela napas berat, lalu melirik ke arah Casilda sebentar.
“Siapa yang akan percaya kalau aktor nomor satu negeri ini menelepon seorang dokter di tengah malam buta untuk membeli pembalut wanita dengan suara panik? Aku benar-benar tidak bisa memahamimu, Arkan.”
Sang dokter menggeleng pelan, lalu berjalan keluar pintu.
Arkan mengeraskan pandangannya, berbalik untuk menatap Casilda kembali. Kali ini, lebih lama dan tampak setengah melamun.
***
Di rumah sakit lain, kegemparan mengenai skandal Arkan juga membuat heboh sebuah ruang perawat di sana.
“Ya, ampun! Aku tidak tahu kalau Arkan sang Top Star sangat romantis seperti ini? Demi tunangan tercinta, dia langsung maju menjelaskan semuanya. Dulu, dia tidak seperti itu, kan? Biasanya, dia sangat dingin dan masa bodoh. Apakah ini yang namanya efek dari jatuh cinta? Lisa benar-benar beruntung. Sudah dapat pria tampan, sangat ahli di atas ranjang, dan sekarang tergila-gila kepadanya. Aduh, aku benar-benar iri,” ujar seorang perawat yang menghela napas pasrah, matanya tak berdaya melihat berita di layar komputer di saat jam kerja.
Beberapa perawat lain di dekatnya juga ikut-ikutan mengikuti berita skandal itu.
“Menurutku, nona Lisa benar-benar sangat istimewa di hatinya. Lihat bagaimana saat trailer reality show itu tayang beberapa saat lalu? Aku penasaran bagaimana saat acara itu benar-benar sudah tayang secara resmi di televisi.”
Seorang perawat berdiri sembari bersedekap, kepala dimiringkan dengan raut wajah penuh perhitungan. “Tapi... ekspresi superstar Arkan masih saja dingin, ya? Apakah dia memang tidak bisa terlihat hangat sedikit saja? Sebentar lagi, dia akan menikah, bukan?”
“Huh! Walaupun sudah menikah kelak, bukankah keduanya masih akan sibuk masing-masing dengan pekerjaan? Jadwal orang terkenal seperti itu sangat padat melebihi apa yang bisa kalian bayangkan. Sekalipun sekarang terlihat romantis dan baik-baik saja, kalau terlalu lama berpisah, bukankah bisa saja ada orang ketiga masuk di antara mereka berdua? Kalau aku menilainya, sepertinya cinta nona Lisa lebih dalam daripada superstar tampan itu. Kita tidak tahu, kan, kalau bisa aja pernikahan mereka itu sudah diatur sedemikian rupa? Bukankah sangat aneh tiba-tiba saja playboy terkenal seperti itu ingin cepat-cepat menikah di usia yang masih terbilang muda dan namanya sedang bersinar?”
Seorang perawat dengan wajah kecut tiba-tiba muncul di antara kumpulan perawat di depan komputer. Dia terlihat bereda, dan tidak begitu suka melihat berita gosip mengenai selebriti terkenal itu. Entah kenapa dia sendiri tidak suka melihatnya. Rasanya terlalu palsu dan dibuat-buat. Dia bahkan ingin mual dan muntah karenanya.
“Bilang saja kamu iri! Kenapa, sih, kamu sangat tidak suka dengan mereka berdua?”
“Kalian bodoh, ya? Mereka hanya mencari sensasi agar uang lebih banyak mengalir ke rekening mereka. Semua skandal itu menaikkan trafic demi iklan yang ada di semua saluan TV yang membahasnya. Ujung-ujungnya apa? Tetap saja uang! Di internet pun juga begitu. Heran, kenapa kalian bisa-bisanya mau termakan cerita tidak jelas begitu,” omelnya dengan kening mengerut tak suka.
Sementara para perawat sibuk berdebat satu sama lain, tidak jauh dari tempat itu, dokter Archer menatap layar ponselnya yang sedang menampilkan gosip mengenai Lisa dan Arkan. Raut wajahnya datar dan dingin, sulit terbaca sedang memikirkan apa.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.