Bab 180 Mempercepat Pernikahan dengan Lisa

Menjadikanmu Milikku Selamanya (Indonesia) 2041 words 2023-07-17 00:05:00

“Tidak perlu. Aku bisa sendiri,” tolak Casilda lemah, menghalau tangan Arkan yang hendak menyuapinya ketika jam makan siang telah tiba.

Arkan yang duduk di tepi ranjang menatapnya muram.

“Kamu tidak sedang marah, kan?” tanyanya cepat.

Casilda menunduk terus menatap bubur di pangkuannya, membalasnya cemberut. “Marah? Buat apa? Apa itu berguna?”

Arkan merapatkan gigi marah, tapi detik berikutnya dia menghela napas berat dan meraih ponselnya.

Casilda meliriknya yang tampak sedang mengecek sesuatu.

Ponsel sang aktor tiba-tiba berdering. Arkan melirik Casilda sebentar dengan tatapan rumit hingga sang istri terkejut kecil dibuatnya.

“Halo?” ucap Arkan, memulai percakapan di telepon. Matanya kini terkunci dengan mata Casilda, tapi wanita itu segera membuang muka.

“Kamu di mana sekarang?” tanya Lisa yang ada di seberang telepon.

“Ada apa? Kenapa meneleponku?” tanyanya malas, menatap jam dinding acuh tak acuh. Mengabaikan sikap Casilda kepadanya.

“Apa yang terjadi di Bandung? Benarkah dia berani menciummu tanpa izin? Siapa nama wanita itu?”

Mendengar nada suara cemburu dari Lisa, tapi tetap tenang dan dewasa, Arkan mengerutkan kening dan berjalan menuju balkon.

Casilda melihat gerak-geriknya yang tidak mau percakapannya didengar, seketika hatinya merumit dan bisa langsung menebak dengan siapa suaminya sedang berbicara.

Hati wanita berpakaian rumah sakit berputar gelisah, menggigit bibir bengkaknya dengan wajah meringis terluka. Bubur di pangkuannya hanya disodok-sodok malas.

Entah berapa lama Arkan berbicara di balkon, Casilda yang tengah melamun sejak tadi sambil memainkan buburnya, akhirnya tersentak kecil begitu mendengar suara tegas sang suami.

“Aku keluar sebentar. Nanti malam baru datang lagi. Jika perutmu sakit, segera kompres saja. Paham? Dokter Ken yang bertanggung jawab atas dirimu. Kamu bisa bicara apa pun dengannya jika tidak nyaman dengan dokter lain.”

Arkan mengatakan ini dengan perasaan tidak rela. Mulai tidak nyaman memikirkan perhatian Ken yang sepertinya agak berlebihan untuk Casilda. Ya. Benih kecemburuan lain perlahan muncul di hatinya. Tapi, dia masih menahannya sejauh ini.

Casilda malas-malasan menanggapinya. “Um. Terserah saja. Hati-hati di jalan.”

Ketika wanita berpakaian rumah sakit mengatakan itu, dia tidak menatap wajah sang suami. Sibuk menatap isi mangkuk di pangkuannya dengan perasaan tidak nyata. Entah kenapa dia tidak suka Arkan harus pergi setelah menerima telepon barusan.

Bukankah sudah jelas kenapa Lisa menelepon?

Apa yang akan terjadi jika tahu dia telah menikah dengan wanita seperti dirinya?

Sang aktor berjalan mendekat, ketidakpuasan terpampang di wajahnya.

“Kenapa tidak menatapku? Marah, kan?”

“Tidak. Marah apa? Kamu ini kenapa, sih?” balasnya dingin, tetap tidak menaikkan pandangannya. Acuh tak acuh seolah menganggap Arkan adalah angin dan udara tembus pandang.

Dagu Casilda tiba-tiba dicubit keras, ditatap penuh amarah tertahan dan kekesalan dari mata milik sang aktor.

“Kenapa denganmu? Tidak suka aku pergi?”

Tangan sang pria ditepis cepat, emosi Casilda merumit dengan mata penuh konflik.

“Kenapa aku tidak suka kamu pergi? Tidak kembali juga tidak apa-apa, kok.”

“KAMU!”

Arkan merasakan dadanya bergemuruh, tapi mengingat betapa lemah dan kesakitan Casilda semalam, dia akhirnya menekan ego dan amarahnya untuk kali pertama sekuat tenaga. Tangan satunya yang bebas mengepal kuat.

“Aku akan pergi setelah kamu menghabiskan makananmu,” bujuk Arkan lembut, duduk di kursi sofa tunggal dan mulai menatap Casilda tanpa kedip.

Ditatap seperti itu, Casilda jelas serba salah dan merasa kikuk.

“Kenapa duduk di situ? Sana pergi!” usirnya dengan wajah memerah hebat, kesal melihat mata tajam dan dingin itu menatapnya seperti laser.

“Tidak. Habiskan dulu makananmu baru aku pergi.”

“Kenapa kamu begitu keras kepala? Kamu itu benar-benar anak kecil! Anak TK!”

“Benar. Aku adalah anak kecil. Anak TK. Makanya jangan membuatku marah lagi,” tegas Arkan dengan wajah tidak bisa dibantah.

Casilda tertegun kaget hingga tampak syok memucat kelam. Kata-kata tertelan di tenggorokan.

Mau tidak mau, akhirnya Casilda menghabiskan buburnya, dan sebagian proses itu malah disuapi oleh Arkan layaknya suami yang perhatian.

“Pelan-pelan minumnya,” ucap Arkan lembut, mengamatinya meminum air dan malah membuat sang wanita tersedak gara-gara ucapannya yang tidak biasa.

“Kamu ini!” maki Arkan lagi, kesal melihatnya mulai terbatuk-batu keras.

“Ini semua karena kamu! Kenapa tidak pergi juga dari tadi?! Benar-benar bikin orang tidak nyaman saja!” protes Casilda dengan wajah memerah hebat, jelas sedang malu-malu dan salah tingkah.

Melihat ekspresi Casilda yang seperti itu, Arkan tidak bisa menahan desakan di dadanya. Dia segera maju dan meraih belakang kepalanya, lalu mulai menciumnya ganas dan posesif. Bibir pucatnya digigit mesra penuh kerinduan dan perasaan gemas.

“TIDAK!” pekik Casilda marah, tapi percuma saja, karena akhirnya luluh juga dalam kuasanya.

Selama ciuman panas dan basahnya berlangsung selama 5 menit penuh itu, Casilda hanya bisa pasrah dan tunduk tanpa perlawanan.

“Kamu marah, ya, aku tinggal sendirian? Takut aku bersama wanita lain lagi? Aku hanya pergi sebentar menemui Lisa dan keluargaku terkait salah paham di internet. Nanti aku akan kembali sebelum pukul 8 malam. Ok?”

Casilda merapatkan bibir dengan kening mengencang gelisah. Dugaannya ternyata sangat benar dan malah di luar ekspektasinya. Dia bahkan ingin menemui keluarganya? Bukankah sudah jelas dia ingin menjernihkan salah paham tersebut agar hubungannya dengan Lisa tetap stabil?

Wanita berpakaian rumah sakit tidak membalasnya sama sekali, malah dia kembali menunduk dengan wajah linglung dan rumit.

Arkan berpikir kalau istrinya masih tertangkap oleh sensasi ciuman mereka berdua. Dia berpikir, lalu mengecup puncak kepalanya lembut. Lupa kalau nama Lisa adalah hal yang sensitif bagi istrinya.

“Jangan suka cemburu. Aku tidak suka wanita seperti itu,” bisiknya pelan, mencubit sebelah pipi Casilda sambil dinaikkan agar mata mereka saling bertemu lagi.

“Aku tidak cemburu. Kamu mimpi...” gumam Casilda dengan raut wajah lesu, sangat bertolak belakang dengan ucapannya barusan.

Menyadari suara dan raut wajahnya sangat aneh, sudut bibir Arkan tertarik puas dan merasa geli.

Apakah begini cara dia cemburu? Tidak sangka dia begitu tsundere.

“Baguslah. Lagi pula, kamu tidak punya hak untuk cemburu, kan?” lanjut Arkan dingin dan jahat, tersenyum menyeringai dengan niat ingin menggodanya. Tapi, reaksi yang didapatkannya hanyalah sebuah hempasan tangan kasar dari Casilda.

“Pergilah. Jangan banyak bicara di situ. Aku masih mau istirahat,” ujarnya cepat, masih terdengar lemah dan enggan melihatnya lagi. Mangkuk bubur kosong diletakkan di atas meja geser, lalu menjauhkan meja tersebut ke bawah ranjang agar bisa merebahkan tubuhnya santai.

“Kamu benar-benar cemburu?” tanya Arkan tak nyaman, menatap Casilda yang mulai memberikannya punggung dingin.

“Dasar narsis. Orang yang cemburu hanyalah orang yang jatuh cinta. Aku sudah bilang, kan? Lagi pula, kapan aku mencintaimu? Kamu amnesia, ya?” ledek Casilda murung, suaranya setengah serak mengatakannya dari sisi ranjang pasien. Meringkuk di sana dengan selimut nyaris menutupi seluruh kepalanya.

Arkan menggelap kesal dengan ucapannya barusan, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dia segera berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan.

Keheningan segera menangkap hati Casilda, bulu matanya merendah lembut. Selimut diturunkan perlahan hingga sebatas bahunya.

Segala perhatian Arkan hanyalah demi balas dendam semata. Casilda pasti sangat bodoh kalau menganggapnya serius. Tapi, meski telah memahami itu, kenapa hatinya sangat perih dan tertusuk begini?

‘Berengsek...’ makinya dalam hati dengan wajah meringis gelap dan kesal. Kedua bola matanya berkaca-kaca menahan amarah mengingat suaminya tanpa ragu pergi demi wanita lain.

***

“Selamat datang, Tuan muda!” sapa seorang pria tua berpakaian butler di sebuah teras mansion megah.

Arkan Quinn Ezra Yamazaki hanya melambaikan tangan malas di udara, kening mengerut dalam mengabaikan sapaan kepala pelayan kepadanya.

“Kamu akhirnya pulang ke rumah setelah sekian lama. Duduklah,” tegur seorang pria tua awet muda dengan wajah tegas dan tampak bijaksana. Sedikit banyak dia sangat mirip dengan Arkan.

“Tidak perlu lama-lama. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan. Aku tidak akan lama di sini,” balas Arkan dingin, wajahnya datar dan tampak penuh permusuhan.

Pria tua tampan di ujung meja tampak menyisip air minumnya, gerakannya sangat anggun dan berkelas.

“Masih kurang ajar seperti dulu,” komentarnya dingin, sangat acuh tak cauh. Mengabaikan putranya sejenak untuk berbicara dengan pelayan wanita yang datang membawakan makanan penutup untuknya.

“Kamu sudah datang, ya?” tegur suara seorang wanita dari arah lain.

Arkan menaikkan sebelah alisnya dengan wajah terkejut.

“Ibu? Kapan ibu datang?”

Arkan tidak menyangka ibunya yang lebih suka tinggal di Jepang, tiba-tiba muncul di sini.

“Oh, itu. Setengah bulan lalu, tapi ibu belum sempat memberitahumu karena takut mengganggumu yang sedang sibuk bekerja,” balas wanita tersebut, terlihat sedang berjalan sambil memeluk lengan Lisa yang berpakaian sangat sopan dan modis.

Sang tunangan tersenyum manis ke arahnya, sorot matanya sangat bahagia melihatnya datang di tempat ini meski dinilainya sangat terlambat.

Melihat kedekatan kedua wanita itu, membuat Arkan tak nyaman.

“Duduklah. Masih ada makanan penutup. Kita makan dulu baru bicara di ruang tamu,” ujar pria tua tampan di ujung meja.

“Benar. Ayo, makan dulu. Jangan bahas yang lainnya. Benarkan, Lisa?” tanya ibu Arkan sambil tersenyum melihat calon menantunya yang cantik dan patuh.

Lisa mengangguk anggun dengan senyuman super manis, melirik hati-hati ke arah Arkan yang sepertinya tidak dalam suasana hati yang baik. Dia tahu betapa Arkan sangat membenci keluarganya, khususnya ayah kandungnya. Teleponnya barusan jelas membuatnya memiliki ekspresi seperti itu.

“Aku bilang, aku tidak akan lama di sini. Cepat katakan,” tolak Arkan tegas, sangat serius dan dingin.

“Arkan!” seru ibunya dengan wajah cemas, kemudian saling pandang dengan Lisa yang mulai khawatir.

Ayah Arkan mengeraskan ekspresinya dan mulai merapatkan kedua tangannya setinggi dagu, suaranya dalam dan kuat. “Skandalmu baru-baru ini terlalu berisik. Kamu bahkan membuat pernyataan resmi yang tidak biasa. Meski itu adalah tindakan yang berakhir positif, kamu terlalu terlihat terburu-buru. Ada apa denganmu? Sedang jatuh cinta? Ingat, Arkan Quinn Ezra Yamazaki, kamu sudah punya tunangan. Jangan bermain-main lagi di luar sana!”

Arkan menggelap suram, melirik marah ke arah Lisa yang tampak terkejut mendapati tatapan permusuhan dan benci darinya.

“Puas mengadu kepada mereka?” sindirnya dingin.

“A-Arkan... a-aku hanya meminta pendapat mereka terkait skandal itu. Kamu pasti belum membaca berita terbaru, kan? Wanita itu mengaku hamil karena dirimu,” balas Lisa dengan pembawaan lemah, menunduk tak berdaya di sisi ibu Arkan yang sibuk menepuk-nepuk punggungnya prihatin.

Arkan mendengus dengan ekspresi setengah sinting dan marah.

“Apa? Hamil? Aku membuatnya hamil? Baru kali ini aku dengar ada wanita yang hamil gara-gara ciuman. Wanita itu jelas-jelas berbohong,” geramnya di ujung kalimat, meringis gelap penuh amarah.

“Jika benar demikian, kalau begitu hanya ada satu-satunya cara untuk menepis skandal itu,” kata ayah Arkan dengan sangat tenang. Diam sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. “Percepat pernikahan kalian dalam waktu 2 bulan ini.”

Arkan tertegun kaget dalam diam selama beberapa detik, bola matanya membesar syok. Detik berikutnya, meringis gelap penuh amarah.

“Aku tidak setuju. Kamu sendiri yang bilang kalau pertunangan ini hanyalah sementara! Tidak akan ada pernikahan sama sekali!” bentak Arkan marah, kedua tangan mengepal erat.

Wajah pria tua tampan di ujung meja menunduk gelap dan sangat serius.

“Semua keputusan aku yang tentukan. Ada atau tidaknya pernikahan, kamu tidak bisa protes. Sekali bertunangan, kalian berdua tidak bisa berhenti di tengah jalan.”

“AYAH!” raung Arkan super marah, ekspresinya mengeras dan tidak enak dipandang.

“Masih ingat untuk memanggilku ayah?” sindirnya dingin, sebelah kening naik dengan cepat.

“Aku tidak setuju! Aku tidak mau menikah dengan Lisa! Aku malah ingin membatalkan pertunangan ini secepat mungkin!”

“ARKAN!” seru Lisa kaget dengan wajah memucat suram, maju ke depan dengan sorot mata linglung.

Arkan meliriknya tajam, penuh dengan kebencian dan rasa jijik.

“Aku sudah memenuhi semua apa yang kamu inginkan selama ini sebagai tunangan yang patuh dan setia, kamu melanggar kesepakatan, Lisa Rosalinda Altezza!” geram Arkan mengganas gelap, seganas singa yang marah hingga wanita cantik itu terkejut kaget dan jatuh terduduk ke lantai.

Wajah Lisa pucat bagaikan mayat. Tidak tahu harus berkata apa melihat kemarahannya sekarang. Apakah sebuah kesalahan dia meminta bantuan ayah Arkan terkait skandalnya kali ini?

“Aku pergi,” ujar Arkan dingin, melirik ibunya sebentar yang tampak terkejut dengan sikapnya, lalu berbalik hendak meninggalkan ruangan dengan hati panas dan tidak peduli.

Ayah Arkan menyipitkan mata dingin, menurunkan kedua tangan yang sempat terjalin di depan wajahnya, berkata keras dan tegas. “Kamu tidak bisa menolak pernikahan itu! Kecuali kamu membawa wanita lain untuk dijadikan istri dalam waktu 1 bulan!”

Langkah Arkan tiba-tiba berhenti, kedua tangan mengepal erat. Kemudian, setelah menggeraskan ekspresinya sebentar, dia kembali berjalan meninggalkan tempat itu dalam langkah-langkah super cepat.

Previous Next
You can use your left and right arrow keys to move to last or next episode.
Leave a comment Comment

Waiting for the first comment……

Please to leave a comment.

Leave a comment
0/300
  • Add
  • Table of contents
  • Display options
  • Previous
  • Next

Navigate with selected cookies

Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.

If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.