Bab 177 Benar-Benar Membuatnya Malu!

Menjadikanmu Milikku Selamanya (Indonesia) 2095 words 2023-07-09 14:23:50

“Tante Juli? Ada apa malam-malam begini?” tanya Casilda dengan wajah pura-pura polos.

Bu Juli melirik ke dalam sebentar secara hati-hati, kening mengencang gelisah.

“Tadi kami mendengar suara keras dari arah sini. Selain itu, ada mobil mewah terparkir di depan rumahmu. Apakah suamimu sudah pulang? Bukankah kamu bilang dia sedang pergi ke Bandung untuk pekerjaan?”

Rumah sewa yang sudah berganti kepemilikan atas nama Casilda itu, sekarang dijaga oleh Bu Juli dengan senang hati. Jadi, saat Casilda mengambil kunci untuk masuk, dia datang menemui wanita tua tersebut di rumahnya. Tentu saja mereka berbasa-basi sedikit sebelum akhirnya pamit dari sana. Tapi, tidak sangka kehebohan Arkan saat masuk tadi membuat orang-orang ternyata mendengarnya juga di sekitar.

“Oh, itu... iya. Apakah tante mendengar suara keras sebelumnya? Tadi ada barang yang tidak sengaja jatuh ke lantai, makanya agak ribut malam-malam begini. Saya tidak menyangka akan kedengaran begitu keras. Maaf sudah membuat keributan dan membuat semua orang kaget,” jelas Casilda dengan wajah mulai keringat dingin, karena ketika dia menaikkan pandangan, di depan sana, tepatnya di bagian pagar di luar halaman rumah, beberapa orang tampak berkumpul dan hendak mencari tahu apa yang telah terjadi.

“Jangan khawatir. Mereka tidak akan masuk ke sini, kok. Aku sudah menenangkan mereka sebelumnya. Kalau benar suamimu datang ke sini, kamu tidak perlu takut. Aku akan menjelaskan apa yang terjadi agar mereka tidak cemas lagi. Tapi, Casilda...”

Kata-kata Bu Juli terpotong, dengan raut wajah cemas meraih sebelah lengan wanita muda di depannya.

“A-ada apa, Bu Juli?” tanya Casilda melongo bodoh, keringat gelisah melihat wajah khawatirnya yang begitu jelas.

“Apakah... kamu juga melihat berita gosip itu? Kamu baik-baik saja? Kalian tidak bertengkar, kan?”

Casilda terdiam. Sepertinya dia bisa membaca pikiran wanita gemuk di depannya.

Senyum alami dipaksakan muncul di sudut bibirnya, membalas genggamannya dengan penuh rasa terima kasih.

“Saya tahu apa yang Anda maksud, Tante. Saya baik-baik saja, kok. Arkan juga sudah menjelaskan hal itu kepada saya. Semuanya hanyalah kesalahpahaman semata. Bunyi keras tadi bukan gara-gara karena kami bertengkar hebat. Benar-benar benda yang terjatuh ke lantai.”

“Benarkah?” tanya Bu Juli dengan mata berbinar penasaran, tampak sedikit lebih baik daripada sebelumnya. Bagaimanapun, dia sudah menganggap Casilda sebagai anak sendiri.

Casilda mengangguk cepat, lalu setelah berbincang sedikit, Bu Juli akhirnya pamit dengan senyum lebar usai menasihatinya tentang bagaimana menghadapi tingkah liar suami yang sulit dihadapi. Sangat jelas dia sedang khawatir terkait suami Casilda yang terkenal dengan status playboy nasional itu.

“Siapa?” tanya Arkan dingin, muncul dari arah dapur, rambutnya basah dan jelas baru selesai membersihkan diri.

Casilda segera menutup pintu, baru sadar kalau pintunya sedikit rusak gara-gara perbuatan Arkan beberapa saat lalu.

“Kamu menendang pintunya, ya? Sekarang pintunya rusak! Ini bukan mansionmu yang mewah! Apa kamu tidak bisa hati-hati sekali saja?!” omel Casilda marah, mengunci pintu seadanya, tapi engselnya sepertinya agak bermasalah, dan kuncinya juga agak macet jika diputar.

Arkan mengelak dengan kuping memerah kecil. “Cerewet! Rumah tua begini, apa yang kamu harapkan? Baru ditendang sedikit saja sudah rusak! Lebih baik segera dirobohkan, lalu bangun rumah yang lebih bagus!”

Pria tampan dengan handuk yang hanya menutupi pinggangnya itu berjalan santai menuju wanita di depan pintu.

“Kamu mau apa? Jangan keluar! Ada banyak orang yang berkumpul gara-gara perbuatanmu!” pekiknya kesal, mencoba menarik sebelah lengan Arkan, tapi malah segera dikungkung di pintu.

“Kenapa? Kamu tidak mau ketahuan kalau sudah punya suami? Ingin menggoda pria lain? Apakah kamu sungguh tidak pernah bisa puas, hah? Apakah kamu baru berhenti jika sudah mendapatkan seorang perjaka?”

“Arkan! Lepaskan aku!” protes Casilda marah, tapi bibirnya segera mendapat ciuman manis yang sedikit liar, membuatnya langsung tertegun kaget.

“Aku lapar. Masakkan sesuatu untukku. Mengemudi berjam-jam tanpa henti itu sangat melelahkan,” rajuk Arkan dengan wajah cemberut, meraih pinggang Casilda mesra sambil menatap bibir merahnya yang sengaja dipoles lipstik gara-gara bengkak dan lecet.

Untung saja saat Bu Juli melihatnya tadi, berpikir itu karena keduanya sedang beradegan romantis untuk berbaikan. Agak meleset, tapi tidak sepenuhnya salah. Diam-diam, di luar sana, Bu Juli terkikik geli dengan pikiran liarnya. Jelas dia tidak membahasnya, karena wajah Casilda sudah merah padam saat menyindirnya yang sedang berduaan di rumah bersama Arkan.

“Dasar pria! Cepat lepaskan aku! Kamu tidak boleh melakukannya lagi! Selain itu, siapa yang menyuruhmu pulang seperti ini? Tidak ada, kan?!”

Belum sempat Arkan membalasnya, kening Arkan mengerut dalam melihatnya yang tiba-tiba meringis kesakitan. “Ada apa?”

“Perutku sakit lagi. Sepertinya haidku benar-benar sudah dimulai sekarang. Aku pikir masih sekedar bercak-bercak saja,” terang Casilda dengan wajah pucat, suaranya segera berubah aneh.

“Ken bilang apa kepadamu, hah? Bukankah dia sudah membawa dokter lain untuk memeriksamu kemarin?”

Dengan hati cemas, Arkan segera memapah Casilda duduk di salah satu kursi kayu panjang di ruang tamu.

“Masih sakit?” tanyanya dengan nada kesal, berpikir dia masih bisa lanjut sesi panas mereka, tapi ternyata malah ada kejadian seperti ini.

Casilda bersandar di tubuh Arkan, mengelus perutnya sendiri dengan ekspresi tak nyaman.

“Iya. Masih sakit, dan rasanya aneh,” keluhnya dengan nada suara gelisah, kening berkerut dalam merasakan sesuatu yang hangat keluar dari inti tubuhnya di bawah sana.

“Berengsek. Aku pikir kamu hanya main-main saja saat bilang sedang haid. Kenapa tadi kamu tidak memakai pembalut sama sekali, hah? Kenapa juga tidak menolakku?”

Casilda diam saja dengan wajah semakin pucat mendengar omelan sang suami, rasa sakit perutnya sedikit banyak membuatnya tidak sanggup mengeluarkan suara sedikitpun.

‘Apa katanya barusan? Kenapa aku tidak menolaknya? Apakah dia itu pikun? Apakah semua perlawananku sejak tadi hanyalah akting semata?’ batinnya kesal luar biasa, menggertakkan gigi dengan sorot mata mengeras.

Arkan memang tidak masuk akal!

Karena tidak menyangka akan bertengkar dengan Arkan dan bermalam di rumah lamanya, Casilda lupa membeli pembalut saat di jalan, dan juga karena tidak menyangka akan menemani Ethan selama hampir seharian penuh, dia tidak kepikiran membawa pembalut cadangan bersamanya.

Ketika dia mengecek di kamar mandi setibanya di rumah lama. Pembalut yang dipakainya sepanjang bepergian dengan Ethan masih terlihat bersih. Jadi, dia masih tenang dan terlihat santai.

Wanita itu memang memiliki siklus haid yang cukup bermasalah di awal-awal kedatangannya. Biasanya hanya berupa bercak-bercak saja sebagai pertanda. Barulah satu atau dua hari kemudian, bendungan bocor merah itu akan menghampirinya selama 4 atau 5 hari berturut-turut.

“Casilda!” tegur Arkan tidak sabaran, mencoba melihat wajah pucat istrinya yang mulai berkeringat dingin tidak karuan.

“Kenapa kamu suka sekali berteriak, sih? Dari tadi aku sudah bilang tidak mau melakukannya, tapi kamu terus memaksaku. Selain itu, kalau aku menolakmu dengan alasan itu, apakah kamu akan percaya? Kamu itu bodoh, dan tidak punya perasaan! Pasti tidak akan peduli sama sekali kalau tidak ada bukti, kan?”

Bagi Casilda sendiri di saat terjepit sebelumnya, memuaskan Arkan secepat mungkin adalah pilihan terbaik. Awalnya, dia berpikir untuk melawan sekuat tenaga, tapi begitu menyadari dia masih aman dari masa haidnya, maka lebih baik melayaninya saja sampai puas dan menghentikan kegilaannya yang bisa berujung hal yang lebih mengerikan.

Siapa sangka kalau sekarang dia malah kesakitan parah, dan sulit bergerak gara-gara jadwalnya datang dengan cara seperti ini?

“Masih belum berhenti juga?”

Kecemasan mulai muncul di wajah Arkan, dan merasakan wanita itu hendak berdiri dari pelukannya.

“Kamu mau apa? Jangan banyak bergerak dulu!” lanjut Arkan kesal, menahan tubuh sang istri di sisinya.

“Lepas! Aku mau pergi membeli pembalut. Kamu pasti tidak sudi membelikannya, bukan?” keluh Casilda sembari meringis memegangi perutnya, kedua kakinya goyah seperti jelly.

“KAMU!”

Arkan secara alami melihat kursi kayu yang baru saja diduduki olehnya, segera saja wajahnya memucat suram. Cairan kental merah gelap menghiasi pandangannya.

“Ba-banyak sekali,” gagap Arkan salah tingkah.

Aktor tampan tersebut memang adalah lulusan dari jurusan kedokteran ternama, tapi karena sudah lama berhenti dari dunia itu, dan fokus dengan pekerjaannya saat ini, melihat darah secara langsung jelas bukan hal yang biasa untuknya.

Dia tidak jijik, pun takut. Masalahnya, itu adalah darah dari Casilda. Darah dari wanita yang dicintai. Pria mana yang tidak gugup melihat wanitanya mengeluarkan darah?

“Kamu mau pingsan, ya? Dokter macam apa kamu itu? Lihat sedikit darah saja sudah seperti melihat hantu,” ejek Casilda dengan seringaian jelek begitu menyadari arah pandang sang suami.

“Berisik! Cepat ke kamar!” bentaknya galak, tampak mulai kesal dengan hinaan Casilda.

“Tidak usah memegangiku! Aku bilang mau pergi membeli pembalut! Kamu gila membiarkan aku seperti ini terus, ya?”

Casilda meronta dengan gerakan lemah, tapi Arkan terus memapahnya menuju kamar.

“Berbaringlah di kamar. Aku yang akan pergi membelikannya untukmu,” bujuk Arkan cepat, mengerutkan kening tak nyaman melihat istrinya kesakitan parah dan tak bisa berdiri dengan normal.

“Apakah kamu selalu seperti ini setiap kali mendapat datang bulan?” lanjutnya dengan wajah super serius.

Casilda tertawa mengejek diri sendiri, meliriknya kesal. “Kenapa? Kamu senang, kan? Kalau aku bermasalah, kemungkinan punya anak juga akan sangat rendah. Kamu tidak perlu menyuruhku minum obat terus. Apakah selanjutnya, kamu akan menyuruhku mengangkat rahim agar hatimu senang dan lega agar kamu yakin tidak bisa melihatku hamil untuk selamanya?”

Arkan jengkel luar biasa mendengar ocehannya yang sedang kesakitan, segera meraihnya dalam gendongan ala pengantin.

“Turunkan aku! Kamu mau apa?!”

“Berisik! Kalau masih saja melawan, aku benar-benar akan menyuruh dokter mengangkat rahimmu dalam waktu dekat!” bentak Arkan tak sabaran, matanya melotot marah melihat wanita pucat yang menciut di dadanya.

Beberapa saat kemudian, Casilda akhirnya berganti pakaian, dan mendapat kompres hangat di perutnya.

“Kamu tidak apa-apa aku tinggal sendiri?” tanya Arkan lembut, duduk di tepi ranjang dan sudah memakai sementara salah satu pakaian kebesaran Casilda, celana panjangnya tidak diganti sama sekali.

“Aku tidak akan mati hanya karena datang bulan. Kamu bercanda, ya?” gerutu Casilda kesal, mengatakannya dengan mata terpejam dan wajah masih pucat.

Arkan mengelus rambutnya penuh sayang dengan tatapan khawatir.

“Sudah kesakitan seperti itu, masih saja keras kepala. Dasar wanita!”

Arkan menggigit gigi marah, dan segera meraih ponselnya untuk mengecek online shop. Dia berpikir untuk memesannya saja melalui ONE GRAB, tapi melihat sudah malam dan tidak ada online shop 24 jam, hatinya seketika kesal dan penuh makian tak berujung.

Tengah malam begini, dengan perut seperti itu, istrinya ingin membeli pembalut di mana? Arkan tidak habis pikir!

“Tunggu! Kamu sungguh akan pergi membelinya? Kamu tidak gila, ya?” tegur Casilda cepat, menahan sebelah lengan Arkan yang berniat berdiri dari duduknya.

“Apa kamu meremehkanku? Membeli benda seperti itu, apa susahnya, hah?” balasnya sombong dan percaya diri.

Casilda memperbaiki posisi tubuhnya, menatapnya dengan mata setengah terbuka, bibir digigit gelisah tak nyaman.

“Tidak perlu. Kamu jangan keluar. Kalau sampai ada begal, nanti kamu bisa terluka. Seminggu lalu ada kejadian buruk yang menimpa salah satu warga di sini. Kalau kamu dikenali orang, juga bisa gawat. Aku tidak ingin melihat Renata mengomeli kita semua.”

“Kamu masih memikirkan hal itu? Dan apa katamu tadi? Kamu sudah tahu ada kejadian seperti itu di sini, dan masih berniat pergi keluar sendirian? Kamu juga berani datang bermalam sendirian tanpa ada yang menemanimu, apa kamu sungguh bodoh? Tidak tahu berterima kasih? Kalau cemburu, tidak perlu sampai senekat ini, kan? Kamu benar-benar membuatku marah, Casilda!” raung Arkan dengan wajah menggelap dingin.

Casilda yang mengerang kesakitan di ranjang, hanya bisa diam merapatkan bibirnya.

Karena tidak tega dan rela meninggalkannya sendirian di rumah yang sepi, Arkan terpaksa membawa Casilda bersamanya.

“Tidak! Jok mobilmu bisa kotor! Aku tidak perlu ikut! Apa-apaan kamu, hah?!” elak Casilda lemah, melawan hendak turun dari mobil ketika Arkan sudah menaikkannya ke kursi penumpang.

“PATUH! Kamu tidak mau aku berteriak meminta tolong malam-malam begini, kan?”

“KAMU?! KAMU GILA!!!”

Casilda marah sekali! Bisa-bisa hanya masalah datang bulan semata, aktor gila itu malah ingin membuat sensasi di lingkungannya? Apa otaknya benar-benar tidak beres?

Tidak mau melihat aksi nekat Arkan, Casilda terpaksa menurut begitu saja.

Ketika mobil mulai berjalan beberapa menit, Casilda yang tidak sadar tertidur, mulai merintih kesakitan sambil memegangi perutnya.

“Casilda? Ada apa? Kamu kenapa?!” teriak Arkan panik, menoleh sesekali mengeceknya sambil tetap mengemudi.

Wanita di kursi belakang tidak membalasnya sama sekali, sibuk mengerang dan menahan perutnya dengan keringat dingin semakin jelas di wajahnya.

Arkan menggertakkan gigi penuh tekad, menginjak gas dan segera melakukan panggilan telepon dengan wajah gelisah.

‘Hah?! Apa ini?! Aku di mana?!’ batin Casilda bingung luar biasa begitu merasakan tubuhnya dipindahkan ke atas brankar, matanya linglung melihat bergantian antara perawat dan dokter yang sedang mengelilinginya.

“Cepat, dokter! Istri saya kesakitan!” seru Arkan panik, ikut mendorong brankar.

Casilda syok!

Apa-apaan ini? Kenapa malah membawanya ke rumah sakit? Mana di bagian IGD pula!

Arkan benar-benar membuatnya malu!

Previous Next
You can use your left and right arrow keys to move to last or next episode.
Leave a comment Comment

Waiting for the first comment……

Please to leave a comment.

Leave a comment
0/300
  • Add
  • Table of contents
  • Display options
  • Previous
  • Next

Navigate with selected cookies

Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.

If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.