Mataku terasa pedas. Bisa kurasakan air mata mulai menggenang di ujung penglihatan ini, siap untuk turun kapan saja.
"Ya ampun, kau menangis?" sahut salah seorang rekan kerjaku yang kebetulan melewatiku. Belum sempat aku memberikan jawabanku, perempuan itu keburu memeluk diriku. Tangannya mengusap-usap punggungku.
"Kuat, ya. Tidak usah pedulikan mantanmu yang tak tahu diri itu." ujarnya dengan nada penuh simpati.
"M-mbak, saya...! Haachhoo!"
Omonganku terpotong oleh bersinku sendiri.
"Iya, saya tahu. Menangis saja kalau itu bisa membuatmu lebih tenang."
'KAU TAHU APAAA...!!' batinku geram melihat perempuan yang memelukku ini langsung saja mengambil kesimpulan tentang kondisiku.
Sialnya, bisa kulihat ada segerombolan karyawan lain datang ke arahku. Tidak ingin menarik perhatian lebih jauh lagi, kucoba melepaskan diri dari pelukan perempuan di depanku ini.
"Mbak, saya baik-baik... a-a-achooo!"
Bagus sekali. Bersin barusan membuat air mataku turun begitu saja.
"Lho, Ena kenapa?"
"Ena kau menangis?"
"Ena kenapa, mbak?"
Apa tidak ada timing yang lebih bagus lagi dari saat ini? Kenapa mereka bisa secepat itu sampai di depanku?
Tahu-tahu, perempuan yang memelukku tadi, kembali mendekapku erat. Lalu dengan suara pelan, ia mengatakan sesuatu ke sekelompok rekan kerja yang tadi memborbardirku itu.
"Sepanjang acara retreat tadi, Riko menempel terus dengan kekasih barunya itu."
Bisa kudengar decakan dari mereka.
"Padahal Ena dan Riko baru putus tiga hari yang lalu."
"Eh, dan katanya, si Riko itu sudah main api sejak lama!"
"Memang tidak tahu diri si Riko itu."
"Ena yang sabar, ya. Kau akan bertemu dengan lelaki lain yang lebih baik dari dia."
Aku mencoba mengangkat kepalaku untuk menjelaskan kesalahpahaman yang timbul. Tetapi sepertinya itu keputusan yang salah karena mereka semakin menjadi-jadi setelah melihat wajahku.
"Enaaa... kau menangis sampai hidungmu merah seperti itu."
"Pria seperti itu tak perlu kau tangisi, Ena. Buang-buang air mata."
Lalu lagi, aku bersin untuk kesekian kalinya. Dan orang-orang di sekitarku terus menghiburku.
Sudahlah. Saat ini aku tak punya tenaga untuk meluruskan kesalahpahaman yang ada. Lebih baik aku menyembunyikan wajahku terlebih dahulu sampai mereka pergi.
Serbuk sari kurang ajar.
Gara-gara kalian, aku dikira masih menangisi mantan yang eksistensinya bahkan sudah tak kupedulikan lagi.
Alergi yang sangat menyusahkan.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.