“Jejak Rindu di Kota Hujan”
READING AGE 18+
Bab 6 – Bayangan yang Mengikuti
Hujan mulai turun lebih deras saat Nadine dan Drazel meninggalkan taman. Lampu jalan memantul di genangan air, menciptakan bayangan yang bergerak seperti mata yang mengawasi. Mobil hitam itu tetap diam, tetapi lampunya masih menyala—mengintai.
“Nadine, cepat,” bisik Drazel.
Ia memegang lengan Nadine, mengarahkannya masuk ke jalan kecil di belakang taman. Nadine mengikuti, napasnya saling bertemu dengan udara dingin malam.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nadine, suaranya gemetar. “Kenapa mobil itu mengikuti kita?”
Drazel tidak segera menjawab. Langkahnya cepat, fokus, seperti seseorang yang terbiasa dengan situasi genting. Ketika mereka sampai di area parkir belakang sebuah pusat komunitas, ia berhenti dan menatap sekitar, memastikan tidak ada yang menyusul.
“Drazel, katakan sesuatu… aku takut,” ujar Nadine.
Drazel menoleh, menatap Nadine dengan wajah serius yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Aku tidak tahu semuanya,” katanya. “Tapi aku tahu mobil itu. Itu bukan mobil orang biasa.”
Nadine menelan ludah. “Maksud kamu?”
“Mereka bukan penjahat jalanan. Mereka orang-orang yang… memiliki tujuan jelas.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Dan tujuan mereka entah kenapa terkait dengan ayahmu.”
Hujan menetes ke jaket Drazel. Ekspresinya menegang.
“Aku butuh kamu jujur sekarang,” kata Nadine. “Kamu bilang kamu hanya arsitek.”
“Aku memang arsitek,” jawab Drazel. “Tapi aku pernah bekerja dengan beberapa proyek pemerintah yang sensitif. Sangat sensitif. Itu sebabnya aku paham tanda-tanda orang yang sedang mengawasi.”
Kata “pemerintah” membuat jantung Nadine semakin kacau.
“Jadi ayahku… terlibat sesuatu?” Nadine bertanya, nyaris berbisik.
Drazel menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Tapi kecelakaan yang dia alami… kalau itu benar bentuk sabotase atau peringatan, maka ini lebih besar dari dugaan kita.”
---
Tiba-tiba suara pintu mobil ditutup terdengar dari kejauhan. Mereka berdua menoleh.
Mobil hitam itu kini berpindah posisi, masuk ke gang yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari mereka. Lampunya mati, tetapi siluetnya masih terlihat.
“Drazel…” suara Nadine serak. “Mereka mengejar kita.”
Drazel meraih ponselnya. “Kita tidak bisa kembali ke kafe. Tidak bisa ke perpustakaan. Tidak bisa ke tempatmu.”
“Lalu ke mana?” Nadine menahan air mata yang mulai mengalir.
Drazel mengeluarkan kunci mobil dari saku. “Ikut aku.”
Mereka berlari menuju mobil Drazel yang terparkir di belakang gedung komunitas. Begitu masuk, Drazel langsung menyalakan mesin dan mengemudi dengan kecepatan terukur—tidak panik, tetapi juga tidak santai.
Nadine menatap keluar jendela. Mobil hitam itu kini mengikuti dari jarak yang cukup jauh, namun tidak berusaha menyembunyikan diri.
“Kenapa mereka tidak langsung menyerang?” Nadine bertanya.
“Mereka bukan tipe yang melakukan serangan di tempat terbuka,” jawab Drazel. “Mereka mengawasi, menunggu peluang. Ini pola klasik pengintaian tingkat tinggi.”
Nadine memegang amplop di pangkuannya erat-erat, seakan itu satu-satunya jangkar untuk tetap tenang.
“Ayahku bilang… jangan percaya siapa pun,” katanya pelan.
Drazel menatap jalan, tetapi Nadine merasakan ketegangan di bahunya.
“Aku mengerti kamu ragu padaku,” kata Drazel. “Kalau kamu mau aku berhenti di tempat aman dan kamu turun, aku bisa—”
“Tidak,” potong Nadine, spontan. “Aku… aku merasa aman bersamamu.”
Hening penuh makna mengisi mobil.
Di tengah ketakutan, ada kepercayaan tipis namun nyata yang tumbuh. Dan itu membuat Drazel menoleh sejenak, mata mereka bertemu.
“Nadine… aku tidak akan biarkan apa pun terjadi padamu.”
Nadine menahan napas. Kata-kata itu bukan janji kosong; ia mendengarnya sebagai tekad.
---
Mobil Drazel akhirnya berhenti di sebuah rumah tua di pinggir kota. Bangunan itu tampak tidak terawat, tetapi lampu halamannya menyala.
“Kita di mana?” tanya Nadine.
“Safehouse,” jawab Drazel singkat. “Tempat ini tidak terhubung dengan identitasku sekarang. Tidak ada yang tahu aku punya akses ke sini.”
Drazel turun, memeriksa sekeliling, lalu membuka pintu untuk Nadine.
Begitu mereka masuk, Drazel mengunci tiga lapis pengaman. Nadine merasa gugup, tetapi juga sedikit lega.
Di dalam rumah tua itu, Drazel menatapnya dan berkata dengan nada berat:
“Ada sesuatu yang harus kamu tahu. Tentang ayahmu. Dan… tentang masa laluku.”
Nadine menahan napas.
“Karena aku rasa keduanya saling terhubung.”
Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai, Nadine menyadari bahwa Drazel bukan hanya sekadar pria yang tidak sengaja bertemu dengannya di kafe.
Ia bagian dari teka-teki.
Bagian yang selama ini tersembunyi.
---
sekian dan terima kasih
Unfold
Hujan sore itu turun tanpa aba-aba, mengguyur Kota Bogor seperti ingin menghapus seluruh hiruk pikuk yang menumpuk sejak pagi. Aira berdiri di teras kafe kecil tempat ia bekerja paruh waktu, memandangi jalanan yang mulai basah, sambil mencoba menenangkan getaran aneh yang sejak kemarin tinggal di dadanya.
Sejak pertemuan tidak terdu……
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Waiting for the first comment……