"Aku ingin cerai," suara Keyli bergetar, memecah sunyi ruang makan. Kandungannya yang semakin membesar tak mengurangi tekadnya saat berhadapan dengan Hadson, suaminya, yang baru saja pulang kerja dan tengah menikmati santap malam.
Mata Hadson, yang semula terpaku pada hidangan, seketika terangkat, menatap Keyli dengan sorot tajam yang menusuk.
"Apa maksud kamu?" Suara seraknya terdengar mengancam, merayapi pendengaran Keyli.
Keyli menelan ludah dengan susah payah, kewaspadaan mencengkeram hatinya. Ia takut Hadson kembali berbuat kasar. "Aku ...."
Keyli menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri meski tak berani menatap wajah suaminya yang penuh amarah. "Aku akan membawa bayi ini setelah lahir supaya—"
Decitan kursi yang kasar menandakan Hadson berdiri. Dalam sekejap, tangannya menjambak rambut belakang Keyli dengan brutal. Rasa sakit dan ketakutan sontak menyeruak dalam diri Keyli, meskipun perlakuan kasar ini bukan hal baru baginya. Matanya terpejam rapat, berusaha meredam nyeri dan menghindari tatapan suaminya yang membara.
"Kamu mulai berani sekarang, hah?!" bentak Hadson, matanya menyala-nyala.
Keyli menggelengkan kepala lemah namun, cengkeraman di rambutnya tak mengendur.
"Berani sekali kamu minta cerai dariku! Apa kamu ingin menjatuhkan aku di depan semua orang?!" lanjut Hadson dengan nada meninggi. "Kamu ingin memperlihatkan pada semua orang kalau aku suami yang jahat, hah! Kamu mau menunjukkan kalau aku suami yang buruk! Begitu maksud kamu!" Ucapannya sarat intimidasi, menghujani Keyli tanpa henti. "Adukan saja!" teriaknya seraya menghempaskan kepala Keyli dengan kasar.
Keyli berusaha sekuat tenaga menahan air matanya, memilih untuk merapikan rambutnya yang berantakan. Perlakuan kasar suaminya sudah menjadi bagian pahit dalam kesehariannya.
Hadson menjatuhkan diri kembali ke kursi dengan kasar. "Kamu sudah merusak makan malamku," gumamnya dengan nada rendah, seolah melupakan kekejaman yang baru saja ia lakukan.
Keyli menarik napas pendek, mengumpulkan kembali sisa keberaniannya. "Aku sudah tidak sanggup lagi hidup bersamamu, Hadson." Suaranya tercekat, kepalanya tertunduk dalam.
Mendengar ucapan lirih itu, Hadson dengan gerakan tiba-tiba menyapu seluruh hidangan di atas meja, menciptakan dentingan pecahan piring yang memekakkan telinga.
Tubuh Keyli tersentak, diliputi gelombang ketakutan yang dahsyat. Namun, tekadnya untuk berpisah dari Hadson telah mengakar kuat. Hadson mencondongkan tubuhnya ke arah Keyli, tangan kanannya mencengkeram rahang istrinya dengan kasar. "Kamu mau aku seperti apa? Kamu menginginkan anak? Aku sudah memberimu anak!" Mata Hadson melotot tajam ke arah Keyli. "Itu kan yang kamu mau!" bentaknya sebelum menghempaskan wajah Keyli.
"Ceraikan aku, Hadson." Kali ini, Keyli memberanikan diri menatap lurus ke dalam mata suaminya.
Mendengar dan melihat keteguhan dalam tatapan Keyli, Hadson membeku, ekspresinya tak terbaca selama beberapa detik yang terasa bagai keabadian.
Kepala Keyli tersentak ke samping saat telapak tangan Hadson mendarat keras di pipinya, meninggalkan jejak kemerahan yang membakar.
Jiwa iblis dalam diri Hadson kembali meradang. Sambil menunjuk-nunjuk Keyli dengan kasar, ia berteriak lantang, "Apa kamu tidak mendengarkan suamimu bicara?! Aku sudah bilang akan berubah! Aku sudah meminta maaf dengan tulus kepadamu! Berani-beraninya kamu tetap meminta cerai, hah!"
Keyli menyentuh bekas tamparan di pipinya, lalu menoleh menantang ke arah Hadson. "Iya. Seharusnya aku meminta cerai darimu sebelum aku hamil. Dan aku menyesal menginginkan anak darimu! Tapi aku tidak ingin anak ini lahir dan memiliki ayah sepertimu!" sahut Keyli dengan keberanian yang baru ditemukannya.
"Apa kamu bilang?!" Wajah Hadson semakin mengerikan. Ia meraih tangan Keyli dan menyeretnya menuju tangga, hendak membawanya paksa ke kamar.
Tentu saja, Keyli berusaha sekuat tenaga melindungi diri dan bayi dalam kandungannya. Demi keselamatan buah hatinya, ia tak berani melawan secara fisik.
"Sampai kapan pun, aku tidak akan menceraikanmu!" kecam Hadson sambil terus menyeret Keyli menaiki anak tangga. "Kamu pikir, kamu bisa membuatku sebagai bahan lelucon teman dewan dan juga teman di pemerintahan? Hadson yang dikenal sebagai suami idaman justru digugat cerai istrinya!" cibirnya. "Jangan bermimpi aku menceraikanmu!"
Sementara Keyli hanya bisa mendekap perutnya erat, berharap bayinya tetap aman di sana.
Sesampainya di depan kamar, Hadson mendorong Keyli hingga terpojok ke dinding, lalu mencengkeram leher istrinya dengan brutal. "Kamu lupa, bahkan jika kamu mengadu ke polisi atau dewan mana pun, suaramu tidak akan didengar. Yang ada, kamu malah akan mendekam di balik jeruji besi," ancamnya.
"Karena apa?" Hadson bertanya, tapi Keyli membisu. "Oke, akan aku bantu mengingatkan memorimu lagi. Kamu tahu, semua bisnis dan kerjasamaku dengan dewan pemerintahan, siapa yang menandatanganinya? Kamu.”
“Jika kamu berani melakukan kebodohan dengan bercerai dariku, maka kamu dan anakmu ini akan membusuk di penjara!" Ancamannya meruntuhkan pertahanan Keyli, membuatnya dilanda keputusasaan.
Keyli mengangguk lemah, air mata mulai mengalir di pipinya, menyerah lagi untuk kesekian kalinya demi keselamatan anak yang akan segera lahir ke dunia ini.
Hadson tersenyum sinis melihat ketakutan dan keputusasaan di mata istrinya. "Kamu mengerti sekarang?"
Sekali lagi, Keyli menganggukkan kepala, air matanya semakin deras. Kemudian, Hadson perlahan melonggarkan cengkeramannya.
"Sekarang masuk kamar." Tangannya yang tadi kasar mencengkeram leher Keyli kini beralih mengelus lembut pipinya, senyum hangat tiba-tiba menghiasi wajahnya. "Istirahatlah, pasti kamu lelah sekarang," ucapnya, perubahan sikap yang drastis dan membingungkan.
Bagaimanapun, Keyli harus menjauhkan anaknya dari ayah kandungnya. Ya, anak ini tidak berdosa, tidak tahu apa-apa, dan tidak pantas mendapatkan siksaan. Apalagi, yang sungguh menginginkan anak ini bukanlah Hadson, melainkan dirinya. Ia harus menyelamatkan anaknya.
Di tengah malam yang sunyi, mata Keyli terbuka tepat pukul dua dini hari. Otaknya langsung dipenuhi rencana pelarian. Ia bangkit perlahan dari tempat tidur dan bergegas bersiap-siap. Dengan hati-hati, ia mengambil duplikat kunci rumah dari lemari, sebuah tas selempang kecil untuk menyimpan dompet dan ponselnya, tak lupa menyisipkan beberapa lembar uang ke dalam saku celananya.
Jantung Keyli berdebar kencang, seolah ingin meledak saat berdiri di depan pintu kamar. Ia tak tahu bahaya apa yang menanti di luar namun, pintu ini adalah satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari penyiksaan ini. Keyli menarik napas panjang, memasukkan kunci, dan memutarnya perlahan.
Bunyi klik samar terdengar, menandakan pintu siap dibuka kapan saja. Namun, kaki Keyli terasa berat, ketakutan yang mendalam menyelimutinya. Bulu kuduknya berdiri, merinding ngeri. Namun, ini adalah kesempatan terbaik untuk kabur. Jantungnya berdegup semakin kencang, seakan ingin meledak saat itu juga. Ia mengatur napasnya, mengumpulkan keberanian yang selama ini terpendam.
Dengan gerakan sangat hati-hati dan pelan, Keyli melangkah keluar kamar, penuh kewaspadaan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati situasi. Cahaya remang-remang dari beberapa lampu yang dimatikan membuatnya harus lebih berhati-hati. Kemudian, Keyli mulai menuruni anak tangga. Setapak demi setapak, ia berusaha tidak mengeluarkan suara, bahkan seolah tak berani bernapas. Selain itu, Keyli harus terus memegangi perutnya, berusaha mengatur napas agar kandungannya tidak mengalami kontraksi akibat ketegangan yang luar biasa ini.
Langkahnya membeku di anak tangga terakhir. Matanya melebar, dan jantungnya terasa berhenti berdetak ketika melihat punggung suaminya berdiri menghadap jendela. Hadson sedang menelepon seseorang pukul dua pagi di ruang keluarga yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu meja.
Karena Hadson belum tidur, Keyli tidak bisa kabur dengan mudah. Pasti ia akan ketahuan saat itu juga. Ia lalu memutuskan untuk bersembunyi terlebih dahulu hingga pria itu benar-benar tertidur. Keyli mulai melangkah kembali, mencari tempat persembunyian di balik sofa ruang tamu, tempat yang memberinya peluang cukup besar untuk melarikan diri karena dekat dengan pintu keluar.
Saat Keyli mengawasi suaminya, tiba-tiba Hadson menoleh ke belakang. Refleks, Keyli langsung bersembunyi, tangan kanannya membekap bibirnya yang gemetar agar suaranya tidak terdengar.
Untunglah, tak lama kemudian Hadson mengakhiri percakapannya di telepon dan berjalan menuju tangga. Mungkin suaminya akan naik ke kamar dan tidur.
Sedangkan Hadson, yang baru saja masuk kamar, berniat memeluk istrinya yang bersembunyi di balik selimut. "Kamu sudah tidur, Sayang?" tanyanya ketika melihat punggung sang istri. "Maafkan aku atas hari ini. Kamu tahu 'kan aku sangat mencintaimu. Mana mungkin kita berpisah kalau saling mencintai. Aku berjanji—" Hadson yang baru saja memeluk sosok di balik selimut itu langsung tersadar bahwa yang ia peluk hanyalah tumpukan bantal. Seketika, iblis kebencian merasuki jiwanya.
Akhirnya, Keyli berhasil membuka kunci pintu utama. Secercah senyuman tipis terukir di wajahnya yang tegang. Namun, baru saja pintu ditarik beberapa senti, tangan Hadson dengan cepat menarik tas selempang yang melilit leher Keyli hingga ia tercekik. Dengan sigap, Hadson membungkam mulut Keyli agar tidak ada yang mendengar, lalu menutup pintu tanpa sempat menguncinya.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.